Menyetubuhi Mayat (6-Habis) : Perkosaan Mayat dan Hukum Islam

Selasa, 03 April 2018

Dalam ajaran Islam, laki-laki yang menyetubuhi perempuan yang telah mati yang bukan isterinya, tidak boleh diistilahkan melakukan perzinaan. Lelaki itu wajib dikenakan hukuman ta`zir. Barang siapa yang bersetubuh dengan orang yang telah mati, bisa lelaki menyetubuhi mayat wanita atau wanita yang hidup menyetubuhi mayat lelaki, maka perbuatan mereka ini tidak boleh dinamakan sebagai zina. Sebab, untuk menyatakan itu sebagai zina, maka mestilah melibatkan dua kemaluan yang hidup. Jadi, walaupun bersetubuh dengan mayat itu haram, tetapi pengharaman sedemikian tidak cukup syarat untuk membolehkan dikenakan hukuman hudud. Ia ada di bawah hukuman ta`zir, karena persetubuhan dengan mayat, tidak melibatkan dua kemaluan yang hidup. Dalam kasus seperti ini hanya satu saja kemaluan yang hidup, karena kemaluan yang satu lagi adalah kemaluan yang sudah mati. Maknanya, kalau zakar lelaki yang hidup dengan vagina wanita yang mati, ataupun faraj wanita yang hidup dengan zakar lelaki yang mati, tidak boleh ditakrifkan sebagai perzinaan di sisi hukum syara`. Perbuatan semacam ini mendapat kemurkaan yang amat-amat sangat dari Allah SWT. Sebab diharamkan oleh Allah SWT. Jadi, hendaklah menjauhi benda-benda sebegini dengan cara mengelakkan diri dari perkara-perkara yang menjurus kepada unsur-unsur yang sekeji ini. Oleh sebab itu, agar terhindar dari faham yang disebut prinsip "saddul zara`I," maka harus menutup pintu-pintu maksiat. Yakni menjauhi sejauh mungkin benda atau apa saja yang bisa membawa pada kemaksiatan. Contohnya, seperti mencari pembantu rumah tangga. Ustadz Jailani, tokoh ulama Malaysia, -peguam syarie- memberi nasehat, agar dalam rumahtangga, sejauh mungkin memilih pembantu yang Islami. Artinya, posisi pembantu itu di dalam rumahtangga, tak akan membuat runyam. "Terutama soal sikap dan pakaian yang dikenakan harus mendapat perhatian," katanya. (sp/jss/Habis)