Mereka Sukses Menambang Emas Hijau di Mamuju

Sabtu, 01 Juli 2017

Dari Jawa, Bali dan Nusa Tenggara, orang-orang itu ikut program transmigrasi. Mereka harus berjuang untuk hidup, di tengah alam yang belum bersahabat. Kadang mereka terpikir untuk kembali. Namun setelah menikmati hasil perjuangannya itu, kini mereka pun sudah melupakan tanah kelahirannya. Adalah I Made Suardana (49), asal Kabupaten Badung, Bali. Dia tidak menduga hidupnya di perantauan bisa sukses. Dia bersama keluarganya ikut program transmigrasi ke Sulawesi Barat pada tahun 1986. Made ingin mengubah nasib. Saat di Bali, Suardana bekerja sebagai kernet truk. Suardana masih ingat saat mengikuti program transmigrasi. Tiap kepala keluarga mendapat lahan seluas 1,5 hektare. “Saat memasuki daerah transmigrasi, awalnya hutan belukar,” kata Suardana, warga Desa Salupangkang, Kecamatan Topoyo, Kabupaten Mamuju Tengah, Sulawesi Barat. Namun, dia tidak ingin kembali ke Badung. Dia memilih bertahan di tanah transmigrasi dan tekun menjadi petani jeruk dan kakao hingga awal 2000-an. Diakui Suardana, menjadi petani kakao dan jeruk pada awalnya sangat menyenangkan. Apalagi ketika Indonesia mengalami krisis ekonomi 1998, harga kakao melonjak tinggi. Namun, tidak demikian halnya dengan jeruk. Pemerintah mengeluarkan tata niaga jeruk yang menyebabkan pasaran jeruknya tidak jelas. Jeruk-jeruk miliknya membusuk karena tidak bisa dijual. Pada waktu bersamaan, kejayaan kakao pun mulai runtuh. Tanaman kakao miliknya mulai diserang hama dan mati. Pada pertengahan 2004, tanaman kakao miliknya mulai terkikis dari lahan perkebunannya. Nasib belum berpihak pada Suardana. Bapak lima anak itu kemudian beralih ke sawit sejak 2005 hingga sekarang. Hal serupa juga dialami Muhammad Sujud, transmigran asal Temanggung, Jawa Tengah, yang tinggal di Desa Wae Puteh, Kecamatan Topoyo, Kabupaten Mamuju. Ia pun memilih menjadi petani sawit daripada bertahan sebagai petani kakao dan jeruk. “Dulu saya hampir tidak bisa makan karena jeruk dan kakao tidak menguntungkan bagi petani saat itu,” kata Sujud.  Kedua transmigran itu menemukan harapan baru pada tanaman sawit. Apalagi kebutuhan sawit terus bertambah. Harganya juga menjanjikan. Bahkan kedua petani tersebut bisa melebarkan luas lahan perkebunan mereka karena keuntungan yang didapat cukup menjanjikan. Kemakmuran yang diperoleh itu menyebabkan Suardana dan Sujud pun tidak mau kembali menjadi petani jeruk dan kakao. Ekspansi petani beralih ke sawit tidak bisa dibendung. Saat ini ribuan hektare lahan perkebunan jeruk dan kakao sudah berubah menjadi lahan tanaman sawit. Para transmigran yang membangun wilayah Sulawesi Barat, selain masih mempertahankan padi sebagai hasil bumi, mereka juga mengembangkan komoditas perkebunan, yakni sawit. Saat ini Kabupaten Mamuju Tengah yang baru itu sangat mengandalkan sektor perkebunan untuk menopang pembangunan perekonomian daerah. Ekonomi membaik, petani sawit di Mamuju Tengah memiliki pendapatan bersih Rp 45 juta per bulan dari lahan sawit seluas 10 petak. Atas dasar itu para petani memilih berkebun sawit karena lebih menguntungkan. Bupati Mamuju Tengah Junda Maulana mengungkapkan, setelah sawit menjadi primadona petani, alih-fungsi lahan tidak bisa dibendung lagi. Data Badan Pusat Statistik (BPS) 2012 menyebutkan lahan perkebunan sawit di Mamuju Tengah seluas 11.644,21 hektare. Dan memasuki semester II 2014, luas sawit terus bertambah sekitar 3.000 hektare. Namun, Pemkab Mamuju Tengah belum memiliki data berapa luas lahan kakao dan jeruk yang sudah beralih-fungsi menjadi sawit. “Perubahan masif memang terjadi. Kami tidak bisa berbuat banyak. Masyarakat sebagai pemilik lahan menginginkan hal itu. Banyak petani jeruk dan kakao berpindah menjadi petani sawit. Faktanya memang menjadi petani sawit lebih sejahtera. Intinya kesejahteraan mereka semakin meningkat,” kata Junda saat ditemui di kantornya. Dia pun optimistis dengan mengoptimalkan sektor perkebunan dan pertanian, Kabupaten Mamuju Tengah bisa sejajar dengan Kabupaten Mamuju yang pernah menjadi induknya. Hasil perkebunan sawit diyakini mampu menjadi penopang utama untuk menggerakkan roda perekonomian daerah ini. Hasil perkebunan sawit di Mamuju Tengah mencapai lebih dari Rp 50 miliar per bulan. Itu terlihat saat perusahaan sawit yang beroperasi di Mamuju Tengah, seperti PT Surya Raya Lestari dari Astra Group, membayar hasil panen sawit kepada petani inti, plasma, dan mandiri. Pada umumnya petani sawit yang sukses merupakan transmigran di era 1980-an yang berasal dari Bali, Jawa, dan Nusa Tenggara. Para petani sawit bersama perusahaan sawit PT Surya Raya Lestari mendirikan sebuah lembaga keuangan mikro (LKM). Keberadaan LKM itu bertujuan untuk menyiapkan barang kebutuhan petani dan menjadi tempat simpan pinjam para petani. “Dengan pendirian LKM ini, dana yang dibayarkan perusahaan untuk buah sawit petani rata-rata Rp 40 miliar per bulan itu dapat berputar di Mamuju Tengah. Jadi apa yang menjadi kebutuhan petani kita siapkan, mulai pupuk hingga kendaraan bermotor,” kata Tugiran, pendiri LKM Kayu Mangiwang sekaligus sebagai community development officer (CDO) PT Surya Raya Lestari. Tambang emas hijau, istilah untuk sawit, dirasakan masyarakat secara umum di Mamuju Tengah. Dampak perekonomian masyarakat juga terlihat dari Pasar Kecamatan Topoyo yang merupakan pasar teramai di Mamuju Tengah. Pada 2005, pasar tradisional itu masih relatif sepi. Ruko-ruko pun terbilang bisa dihitung dengan jari. Namun, seiring dengan meningkatnya kemakmuran ekonomi masyarakat, jumlah ruko kian banyak, perbankan juga mulai ramai dengan banyaknya nasabah. Banyak perbankan melebarkan sayap untuk menampung dana para petani sawit. “Target dalam tiga tahun, Mamuju Tengah sudah bisa sejajar dengan daerah lain dalam hal pendapatan per kapita penduduk. Kami yakini rata-rata pendapatan per kapita penduduk sudah mencapai Rp 25 juta per orang per tahun,” kata Junda. Sebaliknya, masyarakat nelayan belum bisa menikmati masa kejayaan seperti halnya petani sawit. Junda menginginkan berkah sawit itu bisa dinikmati warga yang tidak memiliki lahan sawit seperti nelayan. mi/jss