Ingin Produktifitas Tinggi, Ingat Bibit, Bobot, Bebet Benih Sawit

Jumat, 09 Februari 2018

Benih sawit yang tersertifikasi semuanya adalah kualitas unggulan. Tidak ada yang lebih baik, kendati perusahaan yang memproduksinya berbeda-beda. Itu dikatakan Tatang, Kepala bidang Pemuliaan/Head of Plant Breeding PT Sarana Inti Pratama (SAIN), Salim Group (SIMP) pada Sawitplus.com. Baginya, benih sawit yang baik itu mirip filosofi Jawa dalam memilih pasangan hidup. Harus diketahui seberapa bobotnya (derajatnya), dari mana bibitnya (asal-usulnya), dan seberapa besar bebetnya (nilai instrisiknya). Benih sawit yang sudah tersertifikasi, menurut Tatang, semuanya itu sudah pasti berkualitas. Itu karena silsilah benih itu jelas. Sehingga ketika ditanam, dirawat, dan dipupuk, maka sebelum benih itu tumbuh menjadi pohon dan menghasilkan buah, maka sudah bisa diprediksi, bahwa sawit ini kelak bakal menghasilkan Tandan Buah Segar (TBS) berapa ton per hektar per tahun. Tetapi petani swadaya yang masih konvensional terbanyak tidak nengenal itu. Benih yang ditanam asal-asalan. Benih itu dibeli dari penjual benih yang tidak jelas. Kadang ada yang menyemai dari benih sendiri. “Jadi kalau kemudian sudah tumbuh dan pohonnya sudah besar, mereka pun tidak tahu, kapan berbuah dan seberapa tinggi produktifitasnya,” kata Tatang pada Sawitplus.com. Silsilah untuk benih ini memang sangat dominan. Itu berdasar hasil produksi sawit yang ada di kebun-kebun selama ini. Benih yang tidak jelas asal-usulnya bakal menghasilkan buah yang tak jelas pula hasilnya. Sedang benih yang jelas asal-usulnya bakal menghasilkan buah di atas rata-rata. “Jadi bibit yang paling baik itu berdasarkan sertifikasi. Benih ini melalui tahap pengujian. Berdasarkan bibit, bebet, bobot, turunannya. Asalnya dari mana harus jelas. Kalau bibit kita, silsilahnya lengkap dan jelas,” jelas Tatang. Tentang bibit yang paling baik? “Kita gak bisa bilang yang paling baik. Yang jelas dasar genetiknya apa. Sebab semuanya dari Costarica. Hanya kebetulan, karena kita yang terakhir mengambil tanaman Costarica, itu satu generasi lebih maju. Berarti kan ada perbaikan dari generasi yang lama,” tambah Tatang yang sudah hampir lima puluh tahun bergerak di perbenihan sawit itu. “Jadi tidak boleh mengatakan punya kita paling baik. Tetapi yang penting diketahui, bahwa dasar genetiknya sama. Maka kalau kita punya varietas Purna, Ghana, Palembang, mereka juga punya, sama. Jadi sebetulnya perbedaannya gak banyak,” ujar Tatang. Tapi menurut Tatang, kalau dibandingkan dengan, misalnya Lonsum, itu agak berbeda.  Dasar genetiknya itu misalnya dari pegunungan Afros, dari Dami. Jadi itu berbuah cepat, bagus buahnya, didukung tanah bagus, tapi kerugiannya dia cepat meninggi. Tapi sekarang sudah dikawinkan dengan Bina, jadi sudah bisa direndahkan. “Jadi sawit ini bagusnya jangan terlalu cepat tumbuh, karena 12 meter kan sudah susah ngambilnya. Terus aman dari penyakit. Memang ada beberapa varietas yang tahan. Maka sekarang ada dibuatkan itu bibit yang toleran terhadap genoderma. Lonsum sudah, Trokindo, Sinarmas. Itu juga penting. Karena itu salah satu penyakit yang paling berbahaya kan. Tapi memang ada perusahaan yang mengobati penyakit Genoderma.” Bibit sawit yang diproduksi SAIN memang awalnya untuk perkebunan sendiri. Karena dibuat sendiri, benih itu adalah yang terbaik untuk perusahaan. Namun sejak tahun 2011 benih itu mulai dijual ke umum. Itu selain produktifitas benih sudah melebihi kebutuhan perusahaan, juga untuk mengerem peredaran benih palsu yang ada di pasaran. “Rata-rata petani itu kan ambil bibit dari kebun. Coba kalau dari perusahaan, itu sudah jaminan. Jangan buat bibit sendiri kalau ingin produksi TBS-nya tinggi,” kata Tatang. dam