Larangan Eropa Itu Ganggu Kinerja Ekspor Sawit

Senin, 05 Februari 2018

JAKARTA – Pelaku usaha khawatir dengan pelarangan penggunaan biodiesel mulai tahun 2021. Itu akan mengganggu kinerja ekspor minyak sawit ke Uni Eropa (UE) tahun ini. Meski masih sebatas hasil jajak pendapat di tingkat parlemen, tetapi ada kekhawatiran bahwa masyarakat UE akan mulai membiasakan diri untuk tidak menggunakan minyak sawit khususnya biodiesel. Pada tahun 2017, ekspor sawit ke UE naik 15% dari 4,37 juta ton pada tahun 2016 menjadi 5,03 juta ton pada 2017. Itu di luar biodiesel dan oleokimia. Pengusaha kelapa sawit nasional masih memantau dampak kebijakan UE atas biodiesel sawit. Meskipun Indonesia telah memenangkan sengketa biodiesel dengan UE, hasil akhir putusan Panel Badan Penyelesaian Sengketa (DSB) WTO memenangkan enam gugatan Indonesia atas UE, tetapi itu belum membuat pelaku usaha merasa lega. Pasalnya, UE saat ini dalam proses penentuan putusan yang akan melarang penggunaan biodiesel sawit mulai 2021. Karena itu, Sekjen Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Togar Sitanggang mengaku cukup berhati-hati dalam memproyeksikan perkembangan pasar biodiesel Indonesia di UE pascakemenangan atas kasus antidumping tersebut. “Bisa saja ekspor ke sana naik tahun ini, lalu tahun depan turun. Tapi, kemudian mereka wanti-wanti, membiasakan tidak pakai biodiesel meski pelarangan masih 2021,” kata Togar di Jakarta. Di sisi lain, Togar mengakui, pelarangan penggunaan biodiesel sawit itu akan menekan ekspor Indonesia secara total untuk minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dan turunannya. Pasalnya, biodiesel sawit yang beredar di UE tidak hanya dari unsur nabati (fatty acid methyl ester/ FAME) yang diimpor dari Indonesia. “Di sana, tidak sedikit biodiesel yang diproduksi di Eropa menggunakan CPO yang diimpor dari Indonesia,” ungkap Togar. Dalam kesempatan yang sama, Ketua bidang Perpajakan dan Fiskal Gapki Fadhil Hasan mengatakan, pelarangan biodiesel sawit pada 2021 saat ini memang masih dalam proses voting oleh Parlemen UE. Pelarangan itu akan berdampak pada karakteristik pasar biofuel di UE, di sisi lain itu merupakan bentuk diskriminasi oleh UE. Implementasi kebijakan itu akan menimbulkan konsekuensi tersendiri bagi UE, sebab tidak mudah menggantikan posisi minyak sawit. Kebijakan itu juga justru akan menimbulkan kenaikan harga CPO di pasar global karena jangan-jangan banyak masyarakat UE yang malah beralih kembali menggunakan minyak sawit. “Misalnya, penggunaan biodiesel sawit di UE mencapai 3,50 juta kiloliter (kl). Apakah angka itu akan langsung dialihkan ke minyak nabati lain, seperti rapeseed, sun flower, atau soybean? Nggak mungkin. Kalau kevakuman yang 3,50 juta kl itu dialihkan ke minyak nabati lain, berarti pasokan minyak nabati tersebut untuk segmen pangan akan vakum. Akibatnya, akan terjadi kenaikan harga,” kata dia.