Burung Surga (5) : Sang Ratu Ditangkap Ki Mesakat

Selasa, 23 Januari 2018

Dalam kondisi ketersiksaan itu, Sang Ratu dengan arif memberi perintah anak buahnya. Ia menyuruh, jika Ki Mesakat, sang pemikat burung itu datang, semua Bayan berpura-pura mati. Jika itu dilakukan, pasti Ki Mesakat terkecoh, dan membuang semua burung-burung yang sudah dianggap mati itu. Tapi, kata Ratu Bayan itu, siapa saja yang nanti dibuang duluan hendaknya jangan segera bangkit sebelum semuanya selesai dibuang dan jatuh ke tanah. Pesan ini harap diperhatikan. Begitu kata Sang Ratu kepada seluruh rakyatnya, para burung Bayan. Tak lama kemudian, Ki Mesakat pun datang. Ia ingin memeriksa hasil buruannya di pohon Wudi yang telah dilumuri perekat. Ketika mendongak ke atas dan melihat semua burung Bayan telah terjerat pikatnya, Ki Pemikat ini pun memanjat pohon. Dengan suka cita ia membayangkan keuntungan yang bakal diperoleh. Namun, ketika Ki Mesakat itu sudah mendekat, ia sangat terkejut. Sebab burung-burung yang dipikatnya itu telah mati semua. Untuk memastikan itu, Ki Mesakat mengambil seekor demi seekor dari burung itu lalu diperiksa. Saat ia yakin bahwa burung-burung itu nampak memang sudah mati, maka Ki Mesakat pun melempar burung itu ke bawah. Burung Bayan yang dibuang pertama kali terus menghitung. Tiap kali terdengar suara sesuatu terjatuh, ia menambah bilangannya. Dalam hitungan itu, sudah sembilan puluh sembilan burung yang telah berjatuhan ke tanah. Tinggal menunggu satu suara lagi, maka semua burung Bayan itu akan serempak terbang tinggi. Saat itulah Ki Mesakat kelelahan. Ia akan menyelesaikan kerjanya, naik ke pucuk pohon, untuk mengambil burung terakhir, yang ternyata adalah Sang Ratu burung Bayan. Di tengah rasa lelah itu, tiba-tiba sabit yang ada di pinggang Ki Mesakat terjatuh. Pemikat burung ini pun terpaksa turun. Saat sudah sampai di bawah, pemikat burung ini bukan alang-kepalang kagetnya. Sebab ia melihat, burung-burung yang disangkanya mati itu beterbangan ke angkasa. Itu terjadi, karena sabit yang jatuh dikiranya burung Bayan yang terakhir. Melihat kejadian itu, Ki Mesakat sadar, ia telah ditipu mentah-mentah oleh para burung itu. Ia menyesal luar biasa. Ki Pemikat lalu ingat, bahwa di atas, di puncak pohon Wudi masih ada seekor burung. "Tentu ini Ratu para Bayan," pikirnya. Ia pun bertekad, mati atau hidup burung Bayan satu-satunya itu akan dibawa pulang ke rumah. Ia pun dengan bersemangat memanjat pohon itu lagi. Sampai di puncak, Sang Ratu Bayan pun ditangkapnya. Setelah membersihkan kaki burung Bayan yang cantik itu dari getah perekatnya, Ki Mesakat segera turun. Dengan riang laki-laki itu membawa hasil pikatannya. Makna kisah ini adalah, siapa yang mengusir sesamanya pasti akan diusir oleh Tuhan Allah sendiri. Seandainya burung Bayan itu tidak segera bertobat, maka mereka pasti akan menemui ajalnya. Seperti halnya manusia yang lupa dari Tuhan Allah karena sangat percaya pada kemampuan, kekuasaan dan kenyamanan, ia akan menemui celaka di belakang hari. Ketika itu, semua manusia hendaknya jangan menggantungkan diri kepada sesama manusia kecuali hanya menggantungkan  diri kepada Tuhan Allah Yang Maha Tahu. Dalam sejarah kenabian, peristiwa serupa itu juga terjadi dalam Perang Uhud. Ketika itu, umat Islam menjadi takabur, menggantungkan diri pada kehebatan sahabat, dan karena itu umat Islam kemudian kalah perang. Seperti zaman sekarang, banyak orang yang menjadi takabur karena mempunyai backing seorang pejabat tinggi. Namun ketika sang pejabat itu lengser oleh gerakan reformasi, Si takabur itu pun dihujat rakyat banyak. Hidupnya pun menjadi sengsara karena dijauhi teman. (bersambung)