Prof DR Joni Emirzon SH, MHum : Perlu Direvisi, PP Gambut Itu Bernuansa Politis

Kamis, 21 Desember 2017

Penerbitan regulasi harus mempunyai kajian akademis, menguntungkan semua pihak, cermat, dan tidak bernuansa politis. Itu dikatakan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya, Prof DR Joni Emirzon, SH, MHum Itu, katanya, agar regulasi memberi manfaat, keadilan, dan ketertiban bagi semua pihak. Lucu jika ada lahan yang bisa dioptimalkan untuk kesejahteraan rakyat kemudian dilarang dimanfaatkan karena atas dasar kelestarian seperti masalah di lahan gambut ini. Dalam menyusun aturan, kata Joni, perlu mengacu pada tiga pilar. Yakni aspek filosofis, yuridis  dan sosiologis. Secara filosofis, suatu aturan seharusnya mampu memberi bentuk perlindungan hukum kepada semua pihak. Di satu sisi PP Gambut memang menjamin perlindungan lingkungan, namun di sisi lain tidak memberi kepastian berusaha bagi masyarakat dan dunia usaha yang hidup di dalamnya. “Padahal, pengelolaan gambut punya potensi ekonomi tinggi untuk mensejahterakan masyarakat. Bagaimana mereka akan memenuhi penghidupannya jika lahan yang bisa mereka manfaatkan dilarang dipakai,” kata Joni. Dari aspek yuridis, perlu dinilai apakah ada aturan-aturan yang lebih tinggi seperti UU yang dilanggar. Jika ini terjadi, misalnya PP Gambut itu berbenturan dengan UU Investasi, aturan ini perlu direvisi. Perubahan peraturan atau bahkan perumusannya harus jelas naskah akademis yang menjadi dasar dari pembuatan peraturan terkait. Misalnya dalam penentuan 0,4 sebagai batas Tinggi Air (TM), harus jelas dari mana dasarnya. Sebab aturan Indonesia Sustainability Palm Oil (ISPO) saja mensyaratkan 0,6-0,8 m. “Sepertinya masih terjadi perbedaan persepsi dan tujuan antar lembaga pemerintah seperti KLHK dengan Perdagangan dan Pertanian. Apakah tidak ada komunikasi saat perumusan peraturan tersebut yang mengakomodir masing-masing sektor,” kata Joni mempertanyakan. Sedang dari aspek sosiologis, apakah masyarakat sudah siap. “Kalau kenyataan masyarakat belum siap, sebaiknya aturan itu tidak perlu dilanjutkan apalagi dipaksakan. Data Kementerian Perindustrian menyatakan, total investasi industri hulu dan hilir usaha kehutanan dan investasi industri hulu dan hilir usaha perkebunan dibiayai oleh pinjaman dalam negeri senilai Rp 83,75 triliun dan luar negeri senilai Rp 193,57 triliun. “Bagaimana nasib pembayaran pinjaman ini dengan ketidakpastian iklim investasi dengan adanya PP Gambut ini. Itu akan menjadi kredit macet yang mendorong rating investasi ke arah negatif,” tambahnya. Masalah lain yang krusial dari PP Gambut ini adalah potensi ribuan PHK tenaga kerja, sektor lain yang hidup dari industri ini akan sangat berdampak besar. Peraturan yang menghambat dalam pembangunan ekonomi seharusnya diamandemen atau direvisi. Joni menyebut, revisi PP No.57/2016 perlu dilakukan karena tidak mempunyai azas dan tujuan yang jelas. Dalam suatu penyelengaraan manajemen pembangunan yang solid dan bertanggung jawab (good governance) transparansi terkait azas dan tujuan harus diungkapkan secara jelas untuk memberi rasa keadilan, manfaat dan ketertiban.