Suara tangisan jabang bayi yang baru lahir memecah kesunyian. Sang ibu begitu bersuka cita. Dia bersyukur bayi sembilan bulan dikandungnya, lahir dengan selamat. Demikian juga dengan sang ayah. Dia tak henti-hentinya memamerkan senyum.
Namun keduanya terkesiap ketika untuk pertama kalinya mereka melihat sang jabang bayi. Di dahi bocah mungil itu, tumbuh jengger (Bahasa Sunda: Jawer) seperti yang biasa tumbuh di dahi ayam!
Raut muka kedua orang tua itu jelas sekali memancarkan kekecewaan. Mereka tak menyangka sang buah hati lahir dengan memiliki fisik yang tak normal dan berbeda dengan bayi lain. Mereka merasa malu. Dan daripada terus-menerus menanggung malu, suami istri itu sepakat mengambil keputusan yang tak berperikemanusiaan: membuang sang bayi!
Maka, pada sebuah subuh, keduanya mengendap-endap menghampiri sungai Citarum. Sang ayah menggendong bayi yang direbahkan pada sebuah keranjang, sementara sang ibu membuntutinya dari belakang.
Tiba di tepi sungai Citarum, pasangan itu menangis. Batin mereka berkecamuk. Rasa sedih, berdosa, malu, haru, takut, dan perasaan lainnya, campur aduk menjadi satu. Namun keduanya tetap keukeuh dengan pendirian mereka, membuang sang buah hati.
Pelan-pelan sang ayah menuruni sungai, dan menghanyutkan jabang bayi tanpa dosa yang ada di dalam keranjang. Aliran Sungai Citarum terus menghanyutkan dan mengombang-ambing bayi yang memiliki jawer itu. Semakin menjauh, menjauh, dan menjauh hingga tak lagi terlihat ditelan subuh yang masih gelap dan menggigil. Syahdan, peristiwa tersebut terjadi jauh sebelum bendungan Jatiluhur dibangun.
**
Bendungan Jatiluhur masa kini. Puluhan mobil berderet di Pelabuhan Biru, sebuah kawasan di bendungan Jatiluhur yang memiliki panorama aduhai. Di seberang jalan, berdiri puluhan (bahkan mungkin ratusan) rumah makan yang menyediakan menu ikan bakar. Di seberang lainnya, terhampar danau buatan yang dibangun tahun 1957 silam. Waduk yang terletak di Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat ini dibuat dengan mendatangkan pekerja dan tenaga ahli dari Perancis.
Waduk Jatiluhur menjadi salah satu destinasi wisata Purwakarta. Tak hanya itu, waduk ini juga menjadi sorga bagi para pemancing. Setiap hari, ribuan pemancing mendatangi Jatiluhur. Mereka memancing di tengah danau dengan menumpang di keramba jaring apung milik petani, atau cukup di tepi danau dengan menyewa gubuk berupa rakit. Satu hal yang pasti, para pemancing jangan sekali-kali bicara sompral dan takabur, kalau tak ingin pulang dengan tangan kosong tanpa menjinjing satu ekor ikan pun. Malah, jika berani bicara sompral, bisa jadi bakal celaka.
Nyatanya, modernisasi tak melekangkan sebuah mitos. Sebagian masyarakat sekitar Jatiluhur masih memercayai bahwa ada lelembut atau makhluk tak kasat mata yang menjadi penguasa atau penunggu waduk ini. Sosok mistis ini tak lain adalah Mbah Jawer! Pada saat-saat tertentu, konon, dia kerap menampakkan diri. Muncul ke permukaan danau dengan wajah yang berjengger di bagian dahinya.
Rupanya Mbah Jawer adalah penjelmaan dari jabang bayi yang tempo hari, nun jauh sebelum waduk Jatiluhur dibangun, dibuang oleh kedua orang tuanya. Namanya juga mitos, cerita ini mengalir dari mulut ke mulut. Dari generasi ke generasi. Bahwa ada yang mengaku pernah melihat penampakan Mbah Jawer, itu juga cerita dari mulut ke mulut. Siapa orang yang pernah melihat sosok Mbah Jawer, tetap sulit jika pun ditelusuri.
Konon, saat subuh sang bayi dihanyutkan ke sungai Citarum subuh hari, dia diambil oleh dedemit penguasa Citarum. Kemudian dia diasuh dan dipelihara.Tak jelas apakah sang jabang bayi diasuh dalam kondisi masih hidup atau sudah meninggal. Dari cerita yang beredar, bayi itulah yang kemudian dikenal sebagai Mbah Jawer. Keberadaan danau Jatiluhur memang tak bisa dilepaskan dengan sungai Citarum.
Sakit hati lantaran dibuang dan dicampakkan oleh kedua orang tuanya, Mbah Jawer menyimpan dendam kesumat. Dendam itu dilampiaskan kepada orang-orang yang berasal dari desa di mana orang tua Mbah Jawer berasal. Maka, pada tahun-tahun awal waduk Jatiluhur beroperasi, penduduk desa tersebut pantang menggunakan transportasi air ketika hendak bepergian ke desa lain. Mereka lebih memilih transportasi darat yang memakan waktu dan jarak yang lebih lama dan panjang. Jika penduduk desa melanggar pantangan, maka celakalah yang didapat. Misalnya, perahu yang mereka tumpangi terjungkal.
Seiring berjalannya waktu, lambat laun pantangan itu pupus. Kini penduduk dari desa asal orang tua Mbah Jawer bebas wara-wiri berperahu ria. Dan mereka selamat. Namun begitu, mitos Mbah Jawer terus hidup. Para pemancing dan pelancong yang sudah mendengar tentang mitos Mbah Jawer, tak bakal berani bicara sompral ketika berada di kawasan waduk Jatiluhur.
Faktanya, nyaris setiap tahun ada orang yang tenggelam dan tewas di waduk ini. Sebagian besar korban sulit ditemukan kendati tim SAR menyisir melakukan pencarian. Biasanya korban akan muncul dengan sendirinya setelah tiga hingga lima hari kemudian. Apakah musibah ini berhubungan dengan eksistensi Mbah Jawer? Wallahualam bissawab! Tatang Budimansyah