Serat Suluk Gatolotjo (5) : Filosofi 'Tumbu Oleh Tutup' Versi Jawa

Kamis, 06 September 2018 | 20:20:31 WIB

Sebagai serat sinkretis, berpaham gado-gado, Gatolotjo adalah gambaran kemaluan laki-laki yang diperankan sebagai ‘tutup’.

Fungsi tutup untuk ‘menutupi’ organ lain yang ‘terbuka’. Akan terbentuk kesempurnaan jika organ lain itu telah tertutupi. Filosofi ‘tumbu oleh tutup’, ‘benda terbuka mendapat penutup’ disini secara wadag adalah penyatuan kelamin laki-laki dan kelamin perempuan. Ini cerminan ‘sangkaning dumadi’ yang dipercaya sebagai asal-usul manusia.

Penyatuan lingga-yoni sebagai cikal-bakal manusia memang tergambar dalam Gatolotjo. Sang penulis meyakini, sangkaning dumadi manusia itu bukan dari Tuhan, tetapi dari ‘pertemuan’ kemaluan laki-laki (lingga) dengan kemaluan perempuan (yoni). Menyatunya tumbu oleh tutup.

Dalam bahasa populer, kalangan ‘sinkretis Jawa’ sering menyebut, ‘asale menungso kuwi soko bapak lan embok’. Manusia itu berasal dari bapak dan ibu. Ini tidak berbeda dengan penyebutan ibu sebagai pertiwi dan angkasa sebagai ayah. Dalam pandangan Jawa, semuanya berpasang-pasangan agar terbentuk harmoni jagat. Keselarasan dunia.

Itulah sangkaning dumadi. Asal kejadian. Untuk itu dalam banyak aktifitas, pseudo atau terang-terangan, konotatif atau denotatif, nuansa tiap benda yang dipakai atau dikonsumsi masyarakat Jawa dominan merujuk pada paham lingga-yoni itu.

Gambaran manusia berasal dari ‘tumbu oleh tutup’, ‘penyatuan’ lingga dan yoni sampai sekarang masih lestari dan terjalani dalam kehidupan sehari-hari. Untuk ‘mengenang’ itu saban perayaan selalu dihadirkan. Bukan melalui pengkisahan Gatolotjo atau ‘pengumbaran aurat’, tetapi lewat simbol yang menyiratkan kepercayaan purba tersebut.

Simbol yang dimaksud salahsatunya berbentuk tumpeng. Segalanya dianggap belum afdol jika belum dibuka dengan ‘potong tumpeng’.

Tumpeng dalam konteks ini merupakan gambaran dari ‘tumbu oleh tutup’, penyatuan lingga-yoni. Nasi mengerucut melambangkan lingga. Sedang sayuran dan lauk berserakan di bawahnya sebagai simbol yoni.

Boleh kita berargumen macam-macam soal ini. Tapi lestarinya tumpeng implisit pengakuan, bahwa kepercayaan lingga-yoni sebagai sangkaning dumadi sudah sangat mentradisi di masyarakat Jawa.

Dalam busana pun epheumisme yang mengarah ke paham itu tetap dipercaya masyarakat Jawa. Sarung, busana yang dipakai laki-laki sering diasumsikan sebagai akronim ‘kanggo nutupi barang kang nyurung’. Sarung itu untuk menutupi ‘benda’ yang suka mendorong. ‘Benda mendorong’ yang dimaksud adalah penis.

Begitu juga dengan kain yang dipakai wanita Jawa. Pakaian panjang ini disebut sewek. Penyebutan ini juga mempunya makna yang sama dengan sarung. Sewek dimaknai sebagai penutup ‘barang kang suwek’. Dan benda ‘robek’ yang dimaksud adalah kata asosiatif dari kemaluan perempuan, yaitu vagina, yang secara kasat mata memang bentuknya seperti ‘benda robek’. (bersambung/Djoko Su’ud Sukahar)

Terkini