Indonesia menentang keras rencana akan dihapuskannya minyak sawit mentah untuk energi dari sumber terbarukan biodiesel di Uni Eropa (UE). Sebab itu bertentangan dengan MDG’s untuk memerangi kemiskinan.
Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan Iman Pambagyo menyebut, keinginan Uni Eropa itu merupakan pelanggaran. Untuk itu pemerintah Indonesia menentangnya.
Menurutnya, rencana itu tidak sesuai bagi negara berkembang seperti Indonesia. Penghapusan dua energi dari sumber terbarukan itu dinilainya bertentangan dengan Millennium Development Goals (MDG”s) untuk memerangi kemiskinan.
“Seharusnya Uni Eropa bisa lebih konstruktif. Bila masalahnya adalah sustainability, mengapa tidak digagas sebuah kerja sama untuk memperbaiki aspek sustainability, dan bukannya killingthewholesector,” kata Iman, Rabu (17/1).
Parlemen Uni Eropa pada Rabu (17/1) waktu setempat dijadwalkan menggelar jajak pendapat di kantor Komisi Eropa di Strasbourg, Prancis. Jajak pendapat itu akan menentukan nasib minyak sawit. Apakah bakal dihapuskan dari daftar bahan bakar terbarukan mulai tahun 2020 atau tidak.
Sejumlah pejabat Uni Eropa mengatakan, kebijakan penghapusan konsumsi CPO perlu diambil karena dianggap memiliki dampak lingkungan yang buruk. Minyak sawit dituding sebagai dalang dari proses deforestasi besar-besaran di negara Asia dan Amerika Latin.
Dari total impor minyak kelapa sawit Eropa, 46% digunakan untuk biodiesel. Naamun begitu, tiga kelompok politik terbesar di Majelis Uni Eropa sepakat untuk mendukung rancangan undang-undang energi terbarukan yang menghapus CPO.
Ketiga kelompok politik itu telah menyusun proposal, yang akan siap dimasukkan dalam rancangan undang-undang. Proposal itu bertajuk “Report on the Proposal for a Directive of the European Parliament and of the Council on the Promotion of the use of Energy from Renewable Sources”.
“Mayoritas pejabat di Parlemen Uni Eropa mendukung amandemen penghapusan CPO dari daftar energi terbarukan. Itu karena berkaitan dengan kepentingan lingkungan,” kata Fredrick Federley, anggota parlemen Swedia yang juga menjadi anggota kelompok Liberal di Parlemen UE, seperti dilaporkan Bloomberg.