Dalam masyarakat Bali ternyata ada penyimpangan sosiologi. Salah satunya adalah mitos laki-laki sebagai raja. Sedangkan wanita adalah pekerja dan pencari nafkah. Penilaian yang ekstrim memang. Namun mitos tetaplah sebuah keyakinan yang harus dipatuhi. Sabung ayam sampai kini masih tetap melegenda.
Masyarakat Bali ternyata sebagian menganut asas patrilinial, yakni nilai-nilai kulturalnya mengakar pada faktor pemujaan pada kaum adam (laki-laki) dalam segala aspek. Dan itu masih diperdangkal pada kekuasaan sosiologisnya.
Akibat itu mitos mendewakan laki-laki dalam masalah tanggung jawab ekonomi dan sosial kehidupannya makin mengakar. Salah satu penyimpangan itu adalah bentuk-bentuk kemalasan kaum laki-laki Bali dalam bekerja. Dalam kesehariannya mereka hanya nongkrong atau asyik menyabung ayam.
Bali adalah satu pulau yang paling banyak punya julukan. Ia banyak disebut sebagai Pulau Surga, Pulau Dewata, Pulau Kahyangan, tempat para dewa dan bidadari memberi wahyu, kemolekan, cinta, dan kasih sayang.
Ketika dunia porak poranda oleh perang, perkelahian, atau dijejali perseteruan merebut uang dari kerja pabrik-pabrik, justru Bali dijuluki Firdaus Terakhir, taman yang sepenuhnya menjanjikan kedamaian.
Kemashuran Bali seakan menjadi tamsil bagi para wisatawan manca. “ Indonesia adalah bagian dari Bali,” selorohnya.
Orang-orang kaya di negeri maju, yang sering dipusingkan oleh berbagai persoalan duniawi, berbisik kepada rekan-rekannya, datanglah ke Bali sebelum mati.
Tapi selain sebagai tempat bersemayamnya para dewa, Bali juga diakui tempat bergentayangan roh-roh jahat, raksasa, monster. Buta kala ini tidak membuat pelancong takut pelesir ke Bali, justru senang. Mereka ingin tahu, bagaimana orang Bali mengurus itu semua, memberi persembahan kepada para dewa, sekalian berunding dengan buta kala.
Kita mengenalnya kemudian sebagai usaha orang Bali menjaga harmoni: memberi tempat bagi Yang di Atas dan di bawah. Semua diusahakan dibuat pantas. Karena itu Bali menjadi kaya dengan mitologi, dongeng, berusia puluhan abad. Kisah itu tak mudah dijelaskan, sering tak masuk akal, sehingga tak keliru jika dikelompokkan sebagai Balinologic.
Bali pun layak mendapat julukan baru: Pulau Takhayul. Kisah-kisah kone(katanya), mula keto(memang begitu), ini menjadikan Bali unik dan otentik.
Kembali ke masalah penyimpangan tanggung jawab laki-laki Bali yang disosialisasikan dengan arena sabung ayam, ternyata disini tumbuh mitos-mitos yang unik. Sikap takhayul itu misalnya, kalau bebotoh (penjudi) ke tajen (sabungan ayam), pantang ia disapa.
Ciri orang ke tajen mudah dikenali: membawa ayam dalam kisa. Jika Anda kenal seakrab apa pun dengan bebotoh membawa kisa, langsung saja buang muka. Tutup mulut Anda, pura-pura tak kenal dia. Anggap saja mereka mahluk asing. Mereka sangat benci sapaan, dan menganggapnya sebagai musuh bebuyutan.
Dalam masyarakat Bali terutama di kalangan tajen ini lah muncul mitos yang bermakna kalah atau menang. Bagi mereka kemenangan sudah bukan menjadi persoalan serius. Yang dihindari oleh Bebotoh justru akan ditimpa kesialan. Mengapa?
Ada keyakinan yang mbalung sungsum (mendarah daging) dalam dunia persabungan itu. Para bebotoh sangat yakin, jika dalam perjalanan ke arena sabung ayam mereka disapa, itu alamat lepet(sial) mereka akan kalah. Berjalan di desa sendiri, tentu banyak kerabat, sulit menghindarkan diri tidak disapa.
“Untuk menghindari yang tidak diinginkan itulah bebotoh biasanya mencari jalan pintas, menerobos semak, lewat jalan-jalan setapak yang sepi, menghindari lepet, untuk aman ke arena tajen,” kata Wayan Sukarta (45), warga Ambengan, Pesanggaran, Denpasar.
Lalu bagaimana sebenarnya mitos itu diyakini? Bapak yang sehari-harinya bekerja sebagai Guide di sebuah biro Pariwisata ini memang banyak berkumpul dalam komunitas para Bebotoh sabung ayam ini punya penilaian yang mendua. “Justru mitos itu dimentahkan dengan sikap arogan para pejudi itu sendiri,” lanjutnya.
Hal ini dapat dilihat dari tingkah laku mereka yang kontradiktif. Kadang ada juga bebotoh yang berangasan. Jika di tengah jalan ia disapa, ia akan marah-marah dan menghardik orang yang baik hati menyapanya.
Tapi ada juga bebotoh kalem. Ketika disapa seseorang dalam perjalanan ke arena tajen, ia akan batal bertaruh. Ia sangat yakin akan kalah. Ke arena tajen ia hanya melihat-lihat ayam dipasangi taji, sebelum unggas itu baku hantam, saling bunuh, dan berdarah-darah. es/jss