Kiprah organisasi yang bernama Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) ini sangat luar biasa. Di bulan September, GAPKI melakukan lompatan jauh ke depan. Bicara di forum Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), mengurai tentang posisi dan kondisi sawit, serta sekaligus meluruskan isu laten yang tidak benar.
Langkah yang dilakukan itu memberi pencerahan pada banyak pihak. Pada petani sawit, pengusaha, dan tentu negara. Sebab sawit selalu dianggap sebagai biang kerok dari segenap masalah. Segala yang jelek ditimpakan pada sawit. Dan jika mungkin, bisa saja mereka akan bilang, bertanam sawit itu melanggar agama, dan yang bergerak di sawit itu sebagai pendosa.
Fakta sawit mensejahterakan yang tampak di Kalimantan, Sulawesi, Sumatera, dan kini menyusul di Papua selalu dilihat dari sisi negatif. Dipandang segalanya hitam. Meniskalakan fakta, bahwa pertambahan manusia pasti diikuti dengan penggunaan lahan dan pendirian bangunan rumah, dan tentu juga butuh transportasi serta jalan raya.
Akibat pandangan itu, maka tidak salah jika lahirnya orang-orang kaya dari daerah dan terbentuknya kota-kota baru yang menghubungkan kawasan satu dan lain dianggap sebagai monster yang menakutkan. Sebab paham mereka adalah Indonesia harus tetap menjadi hutan, dan manusianya dipaksa untuk menjadi ‘orang utan’.
Pandangan picik ini terus-menerus disosialisasikan. Kebohongan-kebohongan itu diilmiahkan. Dan negara yang berkepentingan dilibatkan sebagai sponsor. Akhirnya lahirlah isu lingkungan, isu kemanusiaan dan sejenisnya. Padahal kalau merujuk pada Albert Camus, justru disitulah letak hilangnya kemanusiaan itu. Manusia didekonstruksi hingga titik nazir, hingga harkat dan martabatnya jauh di bawah binatang. Dan kelompok penentang sawit ini lebih menghargai binatang ketimbang manusia.
Indonesia tidak berkepentingan dengan isu-isu yang digelorakan asing itu. Negeri ini menyulap sebagian hutan untuk tanaman produktif tetap memberi pasokan besar terhadap kebutuhan oksigen dunia. Dan teknologi memberi ruang untuk paripurnanya transisi menuju tatanan kosmos dengan interior baru itu.
Namun mengapa serangan terhadap sawit itu terus masif? Dari sisi ekonomi itu adalah senjata untuk memenangkan perang dagang. Namun di balik itu, ada kepentingan lain yang tersembunyi dalam isu sawit ini, yaitu tetap maraknya pendirian pabrik-pabrik di Eropa yang butuh perimbangan secara ekologis.
Hanya yang patut dipertanyakan adalah adanya pihak pendukung kepentingan asing itu di dalam negeri. Juga pemerintah yang masih belum utuh dalam menentukan arah kebijakannya untuk mensejahterakan rakyat melalui sawit yang nyata perannya mengurangi kemiskinan, mempercepat pembangunan desa, serta meningkatkan derajat ekonomi rakyatnya.
Di wilayah petani, harga Tandan Buah Segar (TBS) kelapa sawit yang di tahun 2016 berkutat di bawah Rp 1.000,-, sekarang melonjak dan bertengger mantap di harga Rp 1.800,- dan Rp 1.900,- per kilogram. Malah sering menyentuh pada angka bulat menjadi Rp 2.000,-.
Di sisi organisasi dan pemerintah, hubungan keduanya semakin harmonis. Misi dagang digalang bersama, membuka pasar-pasar baru di Afrika, Tiongkok, dan Rusia, selain fakta menaiknya permintaan Eropa dan Amerika yang selama ini selalu mengganjal sawit dengan berbagai kebijakannya.
Misi dagang yang dijalankan ke berbagai negara memang belum membuahkan hasil. Namun jika dari sekian negara itu ada satu negara saja yang deal dengan pembelian sawit dan turunannya dari Indonesia, maka status sawit tidak hanya sebagai substitusi minyak nabati yang berasal dari rapseed, bunga matahari dan kedelai, tetapi grade sawit bakal menaik tinggi, sebagai bagian dari mata dagangan utama.
Jalan berliku memang masih harus dilalui sawit dan turunannya. Tingkat global bakal terus diganjal dengan berbagai aturan dan kebijakan yang menekan sawit. Sedang tingkat nasional gejolak yang mendegradasi sawit masih bakal laten terhembus.
Gesekan itu tak akan selesai. Itu karena sawit tidak hanya bernilai emas, tapi tanaman ini telah menjadi berliaan. Semakin digosok, semakin memancarkan sinarnya. Sawit merupakan tanaman yang sulit tergantikan perannya. Dia bak harta karun, yang semakin digali kian ditemukan kekayaan yang terpendam di dalamnya.
Dan sinyal-sinyal menuju Zaman Kalasuba, zaman keemasan telah terpampang di depan mata. Diplomasi GAPKI dan pemerintah di luar negeri akan membuka mata dunia, bahwa sawit amat dibutuhkan kini dan hari depan nanti. Tabik untuk GAPKI. DjokoSu’udSukahar