Politik

Petani Sawit akan Rasakan Langsung Dampak Perang Dagang AS-China 

JAKARTA- Petani kelapa sawit secara tidak langsung akan terpapar akibat perang dagang Amerika Serikat (AS) dan China yang tak berkesudahan. Salah satunya adalah pada harga tandan buah segar (TBS) kelapa sawit.

"Kalau perang dagang AS—China ini terus berlangsung yang merasakan paling berat adalah harga buah, petani akan rasakan dampak terberat. Sebagian pelaku usaha mereka akan ambil profit dari produk hilir, makanya minyak goreng tidak turun harganya," ujar Dewan Pembina Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (Perhepi) Bayu Krisnamurthi.

Dikatakan Bayu, perang dagang ini akan terus menggerus kinerja kelapa sawit, sedangkan biodiesel belum tentu bisa menjadi tumpuan. Hal itu mulai terlihat dari harga kedelai yang sudah turun dari US$380 per ton menjadi US$318 per ton.

"Itu sudah pada harga pada tingkat petani, bukan kedelai stok. Apalagi tambah dengan yang baru panen kemarin. Sektor kedelai AS menderita maka harga kedelai dunia ikut jatuh. Karena harga minyak kedelai jatuh, tekanan harga pada minyak sawit akan terus berlanjut," katanya, Rabu, 16 Mei 2019.

AS menjadi salah satu produsen kedelai terbesar di dunia. Salah satu pasar terbesar kedelai AS adalah China.

Menurutnya, masih ada kemungkinan volume ekspor minyak sawit akan terus naik. Namun, tidak disertai dengan peningkatan nilainya seperti tahun lalu. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), nilai ekspor minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO) pada tahun lalu sebesar US$17,89 miliar, turun 12,02% dibandingkan dengan 2017 sebesar US$20,34 miliar.

Dikutip dari Bisnis, Bayu menyarankan agar pemerintah dan industri mencari cara untuk meningkatan pemanfaatan CPO di dalam negeri sehingga tidak hanya bergantung pada pasar ekspor. Pemanfaatan bahan bakar nabati, menurutnya, sudah bagus, tetapi itu sekadar jangka pendek saja.

Bayu memproyeksikan bahwa penggunaan biodiesel hanya akan populer sampai 15 tahun ke depan. Setelahnya, dia meragukan bahwa bahan bakar hijau itu masih akan menjadi opsi utama. Pasalnya, pabrikan otomotif asal Jepang seperti Toyota sudah menargetkan nol emisi pada 2050.

"Target 2050 zero emission. Konsekuensinya tidak perlu bahan bakar. Itu masih 30 tahun lagi, tetapi sama dengan umur satu pohon sawit. Dengan begitu grafik bisnisnya landai pasti. Di situ, kami harus keluarkan solusi baru," katanya.

Bayu menjelaskan bahwa pada 2030 kemungkinan produksi minyak sawit bisa menyentuh 50 juta ton. Oleh karena itu, perlu tambahan segmentasi penyerapan selain makanan dan bahan bakar.

Menurutnya, minyak sawit pun bisa dipakai untuk pembangkit tenaga listrik, tetapi tentu saja tidak mudah karena membutuhkan sistem logistik, sistem bisnis, komposisi harga dan hal lain yang harus dipikirkan untuk menunjang itu.

Selain itu, opsi minyak sawit sebagai bahan baku plastik ramah lingkungan. "Plastik kan dari minyak jadi ini masalah sederhana. Kalau kita mengarah ke sana itu akan ada permintaan yang sangat besar dan sekaligus menyelesaikan masalah plastik," katanya.(rdh)


[Ikuti SawitPlus.co Melalui Sosial Media]






Tulis Komentar