Politik

10 Keberatan Indonesia terhadap Keputusan Uni Eropa 

JAKARTA-Sebelumnya Menteri Industri Primer Malaysia Teresa Kok menyatakan keberatan terhadap keputusan Uni Eropa terkait sawit yang dimasukkan dalam skema  Renewable Energy Directive II (RED II). Teresa Kok menyebutkan 10 poin keberatan terhadap Komisi Uni Eropa. 

Senin, 18 Maret 2019 dalam Konferensi Pers Tentang European Union’s Delegated Regulation" di Jakarta, Indonesia melalui Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengajukan 10 keberantan kepada putusan Uni Eropa. 

Adapun 10 keberatan ini diantaranya. 
 
Pertama, Pemerintah Indonesia sangat menentang keputusan Komisi Eropa untuk mengadopsi Draft Delegated Regulation (Draf Peraturan Delegasi) yang mengklasifikasikan minyak kelapa sawit sebagai "risiko tinggi" yang tidak berkelanjutan.
 
Dalam peraturan ini, Komisi Eropa menegaskan bahwa maksud dari draf tersebut bukan untuk mempromosikan keberlanjutan di sektor minyak nabati, tetapi untuk menghapus dan memberlakukan larangan tentang impor minyak sawit ke sektor bahan bakar nabati yang diamanatkan UE untuk melindungi dan mempromosikan minyak nabati rumahan UE. 
  
Kedua, Sangat disesalkan bahwa komentar dari institusi UE dan pihak-pihak lain yang berkepentingan menganggap bahwa peraturan tersebut tidak cukup karena larangan total terhadap minyak sawit masih tahap pembahasan. Bagi mereka yang benar-benar percaya pada keberlanjutan dan melindungi lingkungan, penting untuk mengesampingkan ILUC yang bermotivasi politik dan sebagai gantinya bekerja sama dengan negara produsen kelapa sawit untuk mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan PBB (Sustainability Development Goals/SDGs) 2030. 

Ketiga, Diskriminasi minyak kelapa sawit dalam peraturan yang sedang dibentuk oleh UE sebenarnya akan merusak aspek keberlanjutan di sektor minyak nabati. 
 
Dalam hal ini, perlu diketahui bahwa produktivitas minyak kelapa sawit di Indonesia mencapai 3,8 ton/hektare/tahun dibandingkan dengan 0,6 ton/hektare/tahun untuk rapeseed dan 0,5 ton/hektare/tahun untuk kedelai. Hal ini disebut sebagai kunci agar deforestasi global akibat minyak nabati tidak terjadi karena permintaan produk tersebut secara global cenderung terus meningkat. 
 
Dalam konteks ini, pendekatan UE dalam menyikapi keberlanjutan terhadap minyak nabati tidak perlu dicermati dan justru disesalkan serta tidak perlu diterima. 
 
Keempat, Perbandingan produktivitas tidak berarti bahwa Indonesia rela mengorbankan tanah yang tinggi keanekaragaman hayati karena kurangnya produktivitas di tempat lain. 
 
Sebaliknya, Pemerintah Indonesia menyatakan telah menerapkan moratorium pembukaan hutan untuk perluasan perkebunan kelapa sawit baru. Beberapa inisiatif juga sedang dilakukan untuk meningkatkan tingkat produktivitas lebih lanjut untuk memasukkan penanaman kembali pohon kelapa sawit dengan hasil tinggi di lahan yang dimiliki petani kecil.
 
Lima,  Aspek produktivitas minyak kelapa sawit telah diangkat oleh sejumlah pihak sebagai tanggapan terhadap draft RED II.
 
"Kurangnya penilaian dampak, termasuk melewatkan setiap pemeriksaan penggunaan lahan atau dampak efek rumah kaca dari  tanaman minyak nabati lainnya sementara menghapus minyak kelapa sawit, yang sejatinya 4-10 kali lebih produktif, tidak dapat diterima."
 
Enam, Penting juga untuk mengingat kembali kontribusi signifikan minyak kelapa sawit dalam aspek sosial dan ekonomi Indonesia dan dalam mengentaskan kemiskinan dengan mempekerjakan 17 juta pekerja yang mencakup lebih dari 4 juta petani. Meskipun Komisi Uni Eropa dan negara-negara anggota berkomitmen untuk mencapai SDGs, kemajuan dampak sosial dan ekonomi dari minyak sawit jelas tidak penting atau bernilai bagi UE.

Tujuh, Pemerintah Indonesia akan berusaha mendorong dan mengintensifkan dialog melalui promosi platform pada SDGs dan menyambut masukan dari semua pihak dengan tulus mengenai masalah lingkungan. Indonesia akan menantang langkah-langkah diskriminatif UE dalam WTO. 
 
Sementara itu, UE seolah-olah mempromosikan sistem perdagangan berbasis peraturan multilateral. Penerapan standar ganda pada minyak sawit jelas jahat, yang mana Indonesia mungkin tidak memiliki pilihan selain mengambil langkah-langkah balasan, yang tidak akan mengecualikan litigasi.
 
Delapan, Presiden Indonesia telah menyatakan keprihatinannya terhadap perdagangan, investasi, dan hubungan yang lebih luas  dengan UE jika diskriminasi terhadap minyak kelapa sawit dikonfirmasi. Kemitraan Strategis antara Asean-UE sedang ditahan dan Indonesia sedang memeriksa hubungan bilateral dengan negara-negara anggota yang paling mendukung tindakan diskriminatif yang diusulkan oleh Komisi UE.
 
Sembilam, Indonesia akan terus bekerja sama secara erat dengan negara-negara penghasil kelapa sawit di CPOPC serta kerangka kerja Asean, tidak hanya untuk mempromosikan keberlanjutan, tetapi juga untuk mendorong kerja bersama melawan tindakan diskriminatif UE.
 
Dan yang kesepuluh, Kelompok Kerja untuk Minyak Nabati memandang dalam Kerangka Kerja Asean-UE dan Indonesia, para pihak akan bersikeras bahwa diskusi difokuskan pada pencapaian SDGs. Terutama, pada pengentasan kemiskinan yang merupakan tujuan nomor satu dari Agenda PBB 2030, yang didukung oleh respons lingkungan yang kuat, tetapi di mana ILUC tidak berperan dan dianggap tidak relevan untuk mencapai tujuan global yang sesungguhnya.(rdh/net)


[Ikuti SawitPlus.co Melalui Sosial Media]






Tulis Komentar