Seminar Andalas Forum I

Isu Moratorium Sawit dan Penguasaan Lahan di Kawasan 

Pembicara seminar Andalas Foru, dari kiri ke kanan. Mukti Sardjono, Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) , Dedi Junaidi, Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan Kementerian Pertanian, Muhammad Islam, staf ahli Ke

BATAM: Isu Moratorium perkebunan kelapa sawit ternyata adalah sebuah isu yang cukup menarik dibahas dalam sesi seminar Andalas Forum I, yang dilaksanakan di Batam, Provinsi Kepulauan Riau, Kamis, 21 Februari 2019. Mengapa menarik karena isu ini telah menimbulkan kekuatiran di kalangan para pelaku usaha perkebunan kelapa sawit. 

Seminar ini mengusung tema, tentang pandangan berbagai pihak terhadap kebijakan moratorium perkebunan kelapa sawit dan kebijakan B20 dampaknya terhadap industri kelapa sawit berkelanjutan. 

Hadir sebagai pembicara dalam seminar ini, Dedi Junaidi, Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan Kementerian Pertanian, Muhammad Islam, staf ahli Ketua Komite dan Industri Nasional (KEIN) dan Trois Dilisusendi, Direktorat Bioenergi Dirjen Energi Terbarukan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). 

Seminar ini sendiri dipandu Mukti Sardjono, Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) , dalam pemaparannya, Dedi Junaidi mengatakan kebijakan tentang isu moratorium dilakukan adalah untuk lebih meningkatkan produksi sawit, baik tingkat pengusaha maupun ditingkat petani.

"Moratorium perkebunan kelapa sawit ini memiliki kebijakan-kebijakan, yang diantaranya adalah program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR), bioenergi, ISPO, roadmap sawit nasional, sarana dan prasarana," ujarnya. 

Selain itu kebijakan lainnya adalah pengembangan sumber daya manusia, perbaikan tata kelola sawit dan kelembagaan serta pemberdayaan. 

Pendapat serupa juga disampaikan Muhammas Islam, staf Ahli KEIN, yang menyebutkan bahwa Inpres Nomor 8 atau yang dikenal dengan inpres moratorium sawit ini sama sekali tidak akan menghalangi pertumbuhan sawit nasional. Bahkan, inpres ini adalah upaya di dalam meningkatkan produksi sawit dari lahan yang telah ada. 

"Jadi, Inpres ini bukanlah sesuatu yang ditakutkan," ujar Muhammad Islam. 

Akan tetapi, persoalan Inpres nomor 8 ini ternyata kondisi dilapangan sangat sulit untuk diterapkan, terutama terkait legalitas lahan seperti yang ditanyakan salah seorang audiens dari Dinas Perkebunan Provinsi Riau. 

Dikatakannya, sebagian besar lahan perkebunan kelapa sawit itu berasa di dalam kawasan, dan harus terlebih dahulu dilepaskan. Apalagi, tidak jelas mana kawasan yang boleh digarap, mana yang terlarang untuk digarap. 

"Harusnya dalam seminar ini juga menghadirkan, Kementerian KLHK dan Kementerian ATR BPN, sebab dua lembaga inilah yang tahu mana kawasan-kawasan yang tak boleh digarap. Dan lahan-lahan yang sudah terlebih dahulu digarap, itu harus ada pelepasan dari kawasan hutan, mereka butuh legalitasnya," ujarnya. 

Para pemangku kepentingan, dikatakannya harus memiliki perhatian yang serius tentang hal ini, jika memang menginginkan Inpres Nomor 8 Tahun 2018 bisa berjalan dengan baik. 

Dedi Junaidi menyikapi pertanyaan ini, mengakui untuk hal ini memang seharusnya menghadirkan dari instansi terkait, seperti dari KLHK dan ATR BPN. "Mungkin, untuk seminar yang akan datang, ini akan menjadi fokus pembahasan," ujarnya.

Diakhir sesi seminar, moderator Mukti Sardjono mengatakan, bahwa sebetulnya isu moratorium sawit bukanlah sesuatu yang perlu dikuatirkan. "Inpres Nomor 8 2018 ini sama sekali bukan hal yang perlu dikuatirkan. Sebab banyak keuntungan yang didapatkan di dalamnya. Prospek sawit kedepan masih menguntungkan, dan untuk mewujudkan hal ini semua, butuh koordinasi dari semua pihak," ujarnya.(rdh)


[Ikuti SawitPlus.co Melalui Sosial Media]






Tulis Komentar