Wakijem sedang sibuk memasukkan rempeyek ke dalam kaleng. Wanita itu secara hati-hati menata makanan ringan ini dengan rapi. Dua jam lagi, ketika kabut sudah mulai menipis, ia akan pergi ke pasar yang terletak di luar hutan untuk menjual dagangannya itu.

Biasanya, sepulang dari pasar, Wakijem kembali pulang untuk beristirahat barang sebentar. Setelah itu, wanita ini akan menyusul suaminya ke ladang sambil membawa makanan. Ia membantu suaminya menyiangi tanaman, dan baru sore hari keduanya kembali pulang bersama-sama.

Namun pagi itu Wakijem mengalami keanehan. Saat ia sedang melepas penutup tubuhnya, dan hendak beranjak ke kamar mandi, dengan tubuh hanya terlilit kain seadanya, tiba-tiba di pintu kamar sudah berdiri seorang laki-laki. Laki-laki itu tersenyum penuh arti. Matanya nanar menatap wajah, payudara, dan pahanya yang terbuka. Dan dilihat dari gerak-geriknya, laki-laki itu seperti sedang dimabuk birahi.

Wakijem tertegun. Mulutnya ternganga. Tanpa sadar dari bibir wanita ini meluncur kalimat pendek, "Kang, kenapa pulang?" Wakijem bicara begitu, karena sosok itu memang persis Gimo, suaminya.

Laki-laki itu hanya tersenyum. Ia menghambur ke dalam kamar. Ia menyentak kain tipis yang dipakai Wakijem. Tangannya menyentuh payudara wanita ini. Ia memilin putingnya dengan satu tangan. Sedang tangan yang lain merambat ke wilayah bawah wanita ini.

Wakijem diam. Ia tertegun heran bercampur terangsang. Sebab tak biasanya suaminya itu kembali pulang. Suaminya itu juga tak biasa memberi sentuhan erotis, memegang dan memilin-milin puting payudaranya. Serta tak biasanya pula tangan Gimo merayapi kemaluannya yang berambut lebat itu.

Jamahan tangan 'suaminya' itu membangkitkan birahi Wakijem. Nafsu itu pula yang membuat wanita ini tak berpikir panjang. Berpikir tentang kelainan sikap suaminya kali ini yang nganeh-anehi. Wakijem tak sadar, ia sedang dibangkitkan birahinya oleh gendruwo yang berganti wujut seperti suaminya. (jss/bersambung)