Humaniora

Tragedi Setan (44) : Ini 'Kebaikan' Iblis dan Kaum Mu'awiyyah

Sebuah cerita yang tidak asing bagi para Sufi atau pendongeng, mengkisahkan seorang suci yang setiap hari mengutuk Iblis seribu kali. Pada suatu hari, ketika dia sedang tidur di bawah dinding, seseorang membangunkannya.

"Bangun! Dinding sebentar lagi mau runtuh!"Orang itu menghindar tepat pada waktunya. Tertegun sambil berterimakasih, dia mencoba mengingat nama orang dermawan itu.

"Siapa engkau orang bermurah hati?"Dia berkata,"Aku Iblis."Orang suci itu berkata,"Masya Allah!Aku mengutukmu seribu kali sehari dan engkau memperlihatkan padaku kemauan baik?"

Dia menjawab,"Aku khawatir bahwa dinding itu akan menjatuhi, dan dengan demikian berati engkau akan termasuk kelompok orang-orang yang mati sebagai syuhada. Itulah yang membuatku geram dan membuatku sangat tertekan."

Contoh lain dari literatur Sufi tentang Iblis yang mengerjakan perbuatan baik untuk mencegah kenikmatan individu dengan pahala yang lebih besar juga terdapat dalam buku kedua Rumi, Matsnawi, dalam sebuah pertemuan Iblis dengan khalifah Mu'awiyah.

Rumi menerima premis bahwa Iblis, di dalam sebuah kejadian, berbuat sesuatu yang benar, dan dia mengembangkan ide-ide yang selanjutnya harus dilalui oleh seseorang.

Jika diakui bahwa Iblis telah mengerjakan perbuatan-perbuatan yang baik, berarti juga mungkin, Rumi secara tak langsung menegaskan, bahwa semua ini muncul dari suatu kebaikan yang sebenarnya di dalam Iblis sendiri. Logika inilah yang dikembangkan Rumi dalam menciptakan karakter Iblis ke dalam karakter sebuah figur yang hidup namun sangat tragis.

Cerita itu sangat panjang, hampir dua ratus baris. Berawal dengan Mu'awiyah yang tiba-tiba terbangun dari sebuah tidur yang lelap oleh suatu sosok asing yang dengan diam-diam telah masuk ke istana tempat tidur.

Dia berteriak," Hai siapa kamu? Siapa namamu?"

Dia menjawab,"Sesungguhnya, aku Iblis yang celaka."

Dia berkata,"Mengapa membangunkan aku dengan kesungguhan seperti itu?

Katakan dengan jujur kepadaku; jangan katakan kepadaku apa yang berbeda dan yang bertentangan!"

Dia menjawab,"Waktu shalat hampir habis; engkau harus cepat-cepat pergi ke masdjid."

Mu'awiyah sama sekali tidak menerima itu mencaci-maki Iblis karena cara-cara jahatnya. Yang berikut ini merupakan salah satu muatan yang hidup dalam Mathawi, apologia pro vita sua-nya Iblis. Suatu penegasan kembali dari cintanya yang sedemikian besar kepada Allah yang Esa yang kepada-Nya dia telah mengabdi dengan dedikasi tulus ikhlas dari awal masanya.

Dia berkata,"Dari semulai aku adalah seorang malaikat, dan aku melalui jalan ketaatan dengan segenap jiwaku. Aku seorang yang dekat dengan para pengikut Jalan Yang Benar, dan dengan mereka yang mendiami Singgasana, aku adalah sahabat yang terkasih.

Mungkinkah bahwa sebutan pertamaku meninggalkan hatiku?

Bagaimana bisa cinta pertamaku menjadi asing bagi hatiku?

Jika dalam perjalananmu engkau melihat Rum dan Khutan, bagaimana bisa cinta akan kampung halamanmu meninggalkan hatimu?

Aku juga adalah salah satu dari mereka yang meminum dari anggur ini!

Aku adalah salah satu dari para pecinta di istana-Nya.

Tali pusarku mereka potong dengan cionta-Nya; Cinta-Nya yang mereka sebarkan di dalam hatiku.

Dari takdir aku telah mengalami hari-hari yang mulia; Pada musim semi aku meminum air kemurahan hati.

Bukankah aku yang disebarkan oleh tangan-Nya yang pemurah?

Bukankah aku yang Dia bangkitkan dari ketiadaan?

Oh, betapa banyak masa dimana aku telah mendapatkan kebaikan-Nya, dan berjalan mengelilingi taman kesenangan-Nya.

Dia atas kepalaku Dia tempatkan tangan-Nya yang penuh kasih. Mata air kemuliaan yang Dia bukakan dariku.

Ketika aku bayi, siapa yang telah memberiku susu? Siapa yang mengayun-ayun di ayunanku? Dia

Darimana aku telah minum susu selain daripada susu dari-Nya? Siapa yang memelihara aku kecuali pemeliharaan-Nya?" (jss/bersambung)


[Ikuti SawitPlus.co Melalui Sosial Media]






Tulis Komentar