Humaniora

Syekh Siti Jenar Dihukum Mati, 20 Penggembala Terlantar

ilustrasi

Ada kisah menarik di Pulau Jawa. Kisah ini terus berkembang dan menyentuh dalam berbagai ‘rasa’ keimanan. Itu adalah tentang Syekh Siti Jenar.

Soal Syekh Siti Jenar yang juga disebut Syekh Lemah Abang yang banyak diidentifikasi kisahnya mirip Al-Hallaj itu, meninggalkan jejak di Masjid Agung Sang Cipta Rasa, Cirebon, Jawa Barat.

Dalam konteks itu, maka masjid ini meninggalkan sejarah penting bagi perkembangan agama Islam di Cirebon. Pada masa itu, tersebutlah nama Syekh Lemah Abang, yang berasal dari Baghdad, Irak. Ia pengikut Syi’ah Muntadar, tinggal di Pengging, Jatim.

Di sana ia mengajarkan agama dan tasawuf kepada Ki Ageng Pengging serta orang kebanyakan. Tokoh Syekh Lemah Abang ini dikenal pula dengan julukan Syekh Siti Jenar. Aliran Syi’ah ini berpangkal pada pendirian, bahwa yang berhak menjadi imam hanyalah Ali bin Abi Thalib dan keturunannya.

Meskipun terus menerus dikejar-kejar oleh penguasa-penguasa yang beraliran Sunni, tapi mereka tetap bertahan. Golongan ini percaya bahwa arwah Hasan dan Husain, akan menjelma ke dunia sebagai Imam Mahdi. Tasawuf yang dianut golongan Syi’ah ialah wujudiyah.

Aliran ini berpendirian bahwa segala yang berwujud merupakan percikan sinar Ilahi. Dengan demikian, karena manusia itu berwujud, maka manusia pun adalah wujud percikan Ilahi. Ada pun sinar Ilahi itu Allah sendiri, maka manusia adalah Allah.

Salah seorang pemuda dari aliran ini, adalah al Hallaj, dihukum bakar pada tahun 922 M di Baghdad. Di Jawa, pada masa Jaka Tingkir berkuasa di Pajang, ajaran kaum Syi’ah mendapat kesempatan untuk berkembang dengan subur.

Inti ajaran wujudiyah ini sangat pelik, dan seharusnya dirahasiakan. Yang boleh mengetahui dan mempelajarinya hanyalah orang-orang tertentu. Itu pun setelah mereka melampaui saringan yang ketat. Sebab bila salah menerapkan, akan timbul penyelewengan.

Hal yang demikian, ternyata kurang diperhatikan oleh Syekh Lemah Abang. Ia mengajarkan paham yang pelik itu kepada murid-muridnya. Akibatnya mereka tidak melaksanakan syariat Islam. Masjid-masjid tidak lagi dikunjungi orang yang bersembahyang.

Suatu ketika, tersiar kabar bahwa Syekh Lemah Abang mengaku Allah dan mengajarkan pahamnya kepada murid-murid. Oleh karena itu, para wali mengadakan musyawarah untuk mengadili Syekh Lemah Abang. Diundanglah Syekh Lemah Abang ke sidang para wali.

Ketika undangan disampaikan, ia mengatakan, bahwa Syekh Lemah Abang tidak ada, yang ada hanya Allah. Pada panggilan berikutnya ia berkata, bahwa yang ada bukan Allah, melainkan Syekh Lemah Abang. Maka pada panggilan ketiga, Allah maupun Syekh Lemah Abang, diundang sekaligus. Akhirnya Syekh Lemah Abang tidak punya alasan lagi untuk tidak memenuhi undangan itu.

Dalam persidangan, Syekh Lemah Abang tidak dapat memungkiri, bahwa apa yang telah diajarkan itu menyesatkan murid-muridnya. Lalu sidang memutuskan Syekh Lemah Abang dihukum tusuk dengan keris Kantanaga milik Sunan Gunung Jati.

Hukuman itu dilaksanakan di Masjid Agung Ciptarasa. Setelah eksekusi, jenazah Syekh Lemah Abang dikebumikan di Pamlaten, sebelah tenggara Kota Cirebon, tahun 1509 M.

Setelah Syekh Lemah Abang meninggal, dua puluh orang anak gembala domba Syekh Lemah Abang menjadi terlantar. Untuk mengatasi itu, penguasa pada masa itu menganjurkan agar tiap-tiap Jumat, anak-anak itu datang meminta sedekah kepada orang-orang yang sembahyang Jumat di Masjid Sang Ciptarasa.

Ini hanyalah salahsatu sisi dari berbagai versi tentang Syekh Siti Jenar atau Syekh Lemah Abang yag monumental itu. Masih banyak versi yang lain, yang jga tak kalah menggelitiknya. ek/jss


[Ikuti SawitPlus.co Melalui Sosial Media]






Tulis Komentar