Kolom

Kolom Tofan Mahdi : Refleksi Tahun Kesembilan

Waktu berlalu begitu cepat. Rasanya baru kemarin pindah ke Jakarta, tiba-tiba sudah sembilan tahun saja. Alih profesi dari pekerja media menjadi praktisi komunikasi di korporasi, takdir yang tak pernah diduga. Berharap pun tidak.

Sebagai aktivis mahasiswa, cita-cita kebanyakan: kalau tidak menjadi politisi ya bekerja di media. Saya yang memang sejak kuliah menggeluti kegiatan pers mahasiswa memilih bekerja di media. Dan Tuhan memberikan kesempatan itu selama 12 tahun hingga 2009.

Selanjutnya banting setir agak ekstrim ke dunia komunikasi korporasi. Sebuah pekerjaan yang zahir-nya dekat tetapi hakikat pekerjaannya sama sekali berbeda.

Sempat menyerah dan hanya bertahan tiga bulan, tetapi sekali lagi takdir tidak bisa dilawan. Entah dengan kekuatan apa, ada dorongan besar sehingga istiqomah menjalani profesi baru sebagai praktisi komunikasi hingga hari ini. Bekerja di mana pun di bidang apapun pada dasarnya sama: sebagai ibadah. Bukan untuk nggaya-gayaan, gengsi-gengsian.

Apa juga yang mau di-gayakan atau di-gengsi kan, toh setinggi apapun jabatan kita di perusahaan, tetap saja kita karyawan. "Masih bekerja di perusahaan? Kapan mandiri dan hanya Allah SWT semata yang menjadi atasan?". Pesan dari Mas AQUA DWIPAYANA, seorang sahabat (juga mantan wartawan dan praktisi komunikasi) yang kini menjadi motivator handal, terus terngiang. Apalagi kebaikan dan kegiatan sosial yang dilakukan sahabat saya ini mampu membuat "iri" banyak orang.

Bagaimana tidak? Kita yang mau memberangkatkan umroh orang tua dan saudara saja, masih harus hitung-hitungan. Sedangkan dia sudah dua tahun memberangkatkan umroh puluhan orang, benar-benar orang lain bukan saudara bukan kadang. Ternyata, aku masih jauh. Lantas, mengutip syair lagu Nicky Astria, ke mana kuharus melangkah? (Hehehe, jadi ketebak deh usia saya).

Pada akhirnya, setiap kita yang masih bekerja di perusahaan pada posisi apapun, harus sampai kepada cita-cita untuk mandiri. Semakin cepat kita mandiri semakin baik. Karena banyak hal besar di luar sana yang bisa kita genggam dan raih, dengan sepenuhnya kebebasan.

Tetapi tentu mempersiapkan langkah menjadi mandiri tidak bisa gegabah dan asal-asalan. Karena hidup ini juga perlu biaya, jer basuki mawa bea. Harus direncanakan dengan baik dan matang. Tetapi tetap ada tenggat waktu. Sambil menjaga marwah profesionalisme kita bekerja di perusahaan dan industri, kita harus mulai menyiapkan langkah menuju kemandirian. Saya sendiri, jujur, terlambat memulai. Tetapi better late than never.

Mulainya dari hal yang kecil saja: mulai menutup yang namanya pinjaman dan berhenti berhutang. Percaya sama saya, hidup dalam dunia profesional, harus kuat iman. Harus kuat menghadapi godaan dan gaya hidup. Kata seorang teman, "Biaya hidup di Jakarta itu standard koq, tetapi biaya kelakuan itu yang membuat mahal."

Mendengar itu kami tertawa. Banyak para professional bergaji mahal tetapi sesungguhnya mereka hidup dalam kubangan angsuran. Seorang sahabat saya yang lain, sesama profesional dengan posisi jauh lebih tinggi, pernah membocorkan kepada saya. "Tahu gak Mas berapa angsuran saya ke bank setiap bulan? Hampir 100". Hah?

Saya tercengang. Jadi kita bekerja untuk menggaji karyawan bank dong. Saya sendiri Alhamdulillah, sudah tidak memiliki kartu kredit. Sudah digunting dan ditutup dengan hormat sejak satu tahun lalu. Meski kadang merepotkan kalau lagi dinas ke luar negeri, terutama di Amerika dan Eropa, tetapi bisa koq.

Paling kesulitannya kalau lagi naik bus, seperti kejadian pas di Amsterdam bulan Ramadhan lalu, jadinya merepotkan orang lain. Gegara kartu debit gak bisa dipakai, akhirnya penumpang di belakang kita dengan kebaikan hatinya menggesekkan kartu dia dan kita menggantinya dengan uang tunai. Gak mbois ya zaman gini gak punya kartu kredit? Hihihi, iya sih.

Tetapi kalau membayangkan bunga kartu kredit itu 4,5% per bulan, mending ke mana-mana bayar cash. Kenapa ditutup Pak? Kata mbak-mbak CSO sebuah bank swasta di kawasan Sudirman. "Takut kartunya ilang Mbak, plafonnya kegedean." Gak bisa membayangkan kartu kredit berplafon Rp 150 juta ilang, ketemu orang dipakai belanja, nangis deh kita.

"Kan ada PIN-nya Pak," kata Mbak-nya meyakinkan. "Kayak Mbak gak tahu aja, emang merchants di Indonesia suka mewajibkan PIN kalau belanja. Kan mereka mengejar omzet, paling tanya pakai PIN atau tanda tangan?".

Dengan tersenyum, Mbak itu pun menggunting kartu kredit platinum saya. Tidak hanya pinjaman berbunga tinggi, pinjaman berbunga rendah pun gak perlu diambil kalau gak kepepet. Misalnya pinjaman koperasi di kantor.

Saya paling sering disindir staf di kantor waktu pembagian SHU (sisa hasil usaha). Ketika banyak teman yang SHU-nya jutaan rupiah, saya menerima SHU dua ribu perak saja. "Bapak nih gak pernah pinjam koperasi."

Saya tersenyum saja. Bekerja sebagai profesional di perusahaan itu baik, bergengsi, dan nyaman. Tetapi kita harus bisa menjaga marwah profesionalisme kita, ada area-area yang sepenuhnya menjadi wilayah manajemen bukan karyawan. Tentang hal ini saya menyerap banyak ilmu dari guru manajemen dan jurnalistik saya: Bapak Dahlan Iskan.

"Kalau mau kaya ya jadi pengusaha, bukan jadi karyawan," kata Pak Dahlan. Pak Dahlan punya istilah khusus untuk karyawan (wartawan maupun karyawan non redaksi) yang tidak sensitif dan tidak memakai common sense dalam persoalan-persoalan managerial di kantor. Pak Dahlan menyebut karyawan yang demikian sebagai karyawan yang "mbencekno" (menjengkelkan).

Pada suatu hari, di depan meja Sekretaris Redaksi Jawa Pos ada Pak Dahlan, saya, seorang teman wartawan senior, dan sekretaris redaksi Mbak Oemi. Tiba-tiba teman wartawan tadi menunjukkan kepada Pak Dahlan sebuah berita di media cetak tentang kenaikan gaji PNS (ASN/ aparatur sipil negara). "Gaji PNS naik 10% Bos."

Kontan saya kaget teman saya tadi seberani itu bertanya kepada Bos. Dan feeling saya benar, Bos Dahlan tidak nyaman dengan ungkapan teman tadi. "Memangnya kalau gaji PNS naik kenapa Mu (menyebut nama panggilan teman tadi)? Apa hubungannya sama kita. Gak ada hubungannya. Iya kalau dulu gaji swasta lebih tinggi dari pegawa negeri, kalau 10-15 tahun lagi gaji PNS yang lebih tinggi dari swasta, kan juga tidak apa-apa. Zamannya sudah berubah." Pak Dahlan langsung pergi meninggalkan kami.

"Sampeyan sih Cak cek kendel'e (Anda sih Mas berani sekali)," timpal saya. Teman tadi hanya tertawa.

Banyak pelajaran manajemen lain dari Bos Dahlan yang insyaAllah akan saya bagikan di lain waktu. Kembali ke tema awal, jika tidak lagi menjadi profesional, bagaimana dengan berkarir di dunia politik? Jujur, mungkin teman-teman yang lain juga sama, sejak lima tahun lalu juga sekarang banyak partai politik meminang untuk menjadi calon legislatif. Semua saya tolak.

Selain secara kalkulatif berat untuk mendapatkan kursi DPR RI (baik karena tawaran dapil-nya kurang pas maupun elektabilitas pribadi saya di dapil tersebut rendah), ada alasan utama lainnya: duitnya belum cukup.

Memang uang itu relatif. Tetapi saya setuju dan belajar cara berpolitik orang Amerika: kaya dulu baru kemudian terjun ke politik. Bukan sebaliknya, masuk ke politik supaya menjadi kaya. Ini prinsip yang keliru meskipun realitasnya kadang seperti itu.

Lantas kapan saya akan menjadi mandiri? Target saya paling lambat pada usia 50 (semoga Allah SWT selalu memberikan berkah dan kesehatan), berarti 6 tahun lagi. InsyaAllah waktu 6 tahun cukup untuk menyiapkan fondasi menuju kemandirian, termasuk menyiapkan di kota mana kami akan tinggal seraya menyiapkan diri menuju kehidupan yang lebih hakiki. Terima kasih sudah membaca dan selamat berakhir pekan bersama orang-orang tercinta. ([email protected])


[Ikuti SawitPlus.co Melalui Sosial Media]






Tulis Komentar