Politik

Wong Lamongan Itu Jual Pecel Lele, Tapi Pantang Makan Lele

Jika Anda ke Lamongan, Jawa Timur, tanyakan makanan apa yang pantang dimakan. Mereka akan menjawab serentak, lele. Ikan lele dimasak apa saja. Ya, makan ikan lele itu pantang bagi Wong Lamongan, orang Lamongan. Malah ikan itu dikeramatkan. Siapa yang melanggar akan celaka. Kutukan segera datang. Mitos ini karena ikan lele dianggap menolong  santri Sunan Giri. Ulama yang mukim di Gresik itu dipercaya sebagai leluhur dan cikal-bakal masyarakat Lamongan. Berdasar Babad Gresik, Sunan Giri sebagai salahsatu Walisongo, terbiasa melakukan salat Jumat di Masjid Demak, Jawa Tengah. Dalam perjalanan menuju Demak itu, sang wali berjalan kaki sambil bertamu ke rumah penduduk, terutama yang belum memeluk agama Islam. Tapi data sejarah menyebut, wilayah Lamongan sering disebut sebagai benteng terpenting bagi Gresik. Itu karena menurut Graaf dan Pigeaud, penduduk Lamongan  itu keras, kuat dan taat. Karena sambutan yang hangat dari warga Lamongan itu, maka Sunan Giri sangat senang melakukan dakwah Islam di daerah ini. Mengembangkan agama Islam, sekalian membangun benteng untuk memperkokoh Giri. Untuk itu sejarawan Belanda itu memberinya istilah “Moslimse priestervorstendom” yakni sebagai dakwah Islam. Lamongan memang benteng tangguh untuk membendung ancaman serangan Kerajaan Sengguruh (sisa Kerajaan Majapahit  di daerah selatan dekat Malang). Catatan sejarah menulis, Giri pada tahun 1535 pernah diserang Sengguruh. Mereka berhasil menduduki kedhaton Giri, hingga Sunan Dalem bersama Syeh Koja (paman Sunan Giri yang bergelar Syeh Menganti) menyingkir ke daerah Gumena (Lamongan).

Kerajaan Giri terasa aman jika masyarakat Lamongan sudah beragama Islam. Apalagi ketika dua penguasa di Lamongan yang konon beragama Hindu dapat ditaklukkan tentara Demak tahun 1541 dan 1542.

Situasi yang menggembirakan bagi penyebaran Islam dan kekuatan sebagai benteng negara ini yang mengharuskan Sunan Prapen menunjuk santrinya untuk melanjutkan perjuangannya, yakni Hadi sebagai Ronggo (lurah/ pemimpin). Atas jasa-jasa itu  Ronggohadi diangkat sebagai Adipati Lamongan bergelar Tumenggung Surajaya. Jatidiri Ronggohadi memang sempat menjadi polemik. Terutama bagi kalangan sejarawan dan penulis sejarah Lamongan. Panitia penyusun naskah Hari Jadi dan sejarah Kota Soto danTahu Campur ini menyimpulkan, Ronggohadi berasal dari Dusun Cancing, Desa Sendangrejo, Kecamatan Ngimbang. Pendapat ini dibantah oleh keturunan Sunan Giri dari Badu Wanar (Kecamatan Pucuk). Menurut beberapa saksi keluarga yang diwakili oleh: alm. R. Soemoprawiro (mantan carik Desa Wanar), alm. R. Soemowidjojo (mantan Guru SRN Bedingin), alm. R. Soemodihardjo (mantan Kepala KUA Kecamatan Sugio) dan alm. R. Sirhasjim Kromodihardjo (mantan Kepala SRN Kuripan Babat) menuturkan, bahwa santri Hadi itu adalah putra Syeh Koja, paman Sunan Dalem (Sunan Giri II). Konon dalam mengemban tugasnya, Ronggohadi didampingi Pangeran Deket (Sunan Lamongan) yakni saudara Sunan Prapen. Penuturan rasi Sunan Giri di Badu Wanar ini didukung oleh naskah rontal yang  hangus dibakar Belanda bersama 176 buah rumah di 17 April 1949. Nah terus bagaimana dengan ikan lele yang dikeramatkan itu? Menurut Drs. H. Achmad Chambali (55), sejarahwan dan spiritualis Lamongan,a transliterasi sejarah itu berubah menjadi cerita tutur yang salah kaprah. Legenda santri Giri yang tidak lain adalah Ronggohadi itu oleh masyarakat dipanggil dengan nama lain sebagai Ki Danurekso. Tokoh ini yang menjadi tuk (sumber) cerita yang menimbulkan mitos keramat lele. Data lapangan menemukan, mitos itu diwujudkan dalam sebuah tempat magis yang konon dipakai sebagai tempat penyadranan (ngalab berkah). Tempat ini berada di Desa Tangkeban, Kecamatan Glagah. Lokasi makam Mbok Rondo Dadapan ini juga didukung adanya blumbang (telaga) yang diyakini sebagai tempat persembunyian Ki Danurekso. Menurut mitos lisan, Mbok Rondo Dadapan adalah janda kaya. Konon, wanita ini tidak pernah tidur di malam hari karena menjaga hartanya. Saat Sunan Giri berangkat salat Jum’at ke Demak, sang sunan yang melihat lampu terang di rumah Mbok Rondo, mampir sambil menitipkan keris saktinya. Mbok Rondo senang, karena pusaka itu ampuh untuk melindungi harta dari gangguan pencuri. Ketika Gresik dijarah oleh gerombolan kraman (rampok) yang sangat sakti, Sunan Giri menbutuhkan pusakanya. Padahal keris itu berada di Lamongan. Ia pun mengutus muridnya yang bernama Ki Danurekso untuk mengambil pusaka itu secara diam-diam. Upaya Ki Danurekso mencuri  pusaka Sunan Giri diketahui warga Dadapan. Warga mengepungnya. Beruntung ada sebuah sendang, dan disinilah Danurekso bersembunyi. Warga yang mengejar Danurekso kebingungan, karena pencuri itu tiba-tiba menghilang. Warga curiga, pasti maling itu masuk sendang. Namun warga terpaksa balik arah, karena di sendang itu, ikan lele yang berjumlah banyak itu berenang tenang. Merasa ditolong ikan lele, Ki Danurekso bersumpah. Anak cucunya tak akan memakan ikan yang telah menolong jiwanya. Itu yang menjadi asal-usul, mngapa Wong Lamongan pantang makan ikan lele. “Tapi dengan kemajuan, mitos ini makin luntur,” tutur Chambali. dn/jss  


[Ikuti SawitPlus.co Melalui Sosial Media]






Tulis Komentar