DPP Apkasindo Minta Objektif Sikapi Karhutla

Senin, 16 September 2019

PEKANBARU - Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (DPP-Apkasindo) berharap pemerintah dan lembaga lain bisa lebih objektif melihat dan menyikapi persoalan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang terjadi saat ini. Sebab kesimpangsiuran informasi tentang siapa dan lahan milik siapa yang terbakar telah berpotensi membikin gaduh.

"Pada prinsipnya tidak satupun orang mau lahannya terbakar, baik itu perusahaan maupun petani. Dan saya yakin tidak satupun yang akan berani gegabah membakar lahan disaat ancaman hukum untuk itu sudah sangat tegas," kata Ketua Umum DPP Apkasindo, Ir Gulat Medali Emas Manurung, MP didampingi Sekjen DPP Apkasindo, Rino Aprino dan Ketua DPW Apkasindo Riau terpilih Santa Buana  kepada wartawan di Pekanbaru, Senin (16/9) saat menghadiri dan membuka Musyawarah Wilayah Luar Biasa DPW Apkasindo Riau.

Gulat juga mempertanyakan, kenapa karhutla seakan menjadi rutinitas di sejumlah pulau di Indonesia, khususnya Sumatera dan Kalimantan. "Karhutla sudah terjadi sejak lebih dari 30 tahun lalu. Pertama saya pikir kita harus lebih memahami dulu struktur tanah di daerah itu. Apakah lahan bergambut yang rentan terhadap kebakaran atau seperti apa. Kita tahu, di Riau dan Kalimantan, lahan gambut sangat dominan. Lalu, kita juga musti lebih memahami ada tidak unsur lain di kasus karhutla ini. Sebab lagi-lagi saya katakan, tidak satupun orang mau lahannya terbakar," tegas Gulat.

Lantaran itu kata Gulat, Apkasindo sangat berharap pemerintah dan penegak hukum mau lebih persuasif saat menemukan lahan yang terbakar. "Saat ini banyak orang sangat khawatir dengan ancaman hukum yang ada. Sebab lahan yang terbakar, tak sengaja dibakar dan sengaja dibakar, sudah tidak jelas lagi. Pokoknya apabila ditemukan lahan terbakar dan tahu siapa pemiliknya, langsung diproses. Ini membikin orang sangat ketakutan. Sebab sudahlah orang itu menderita kerugian yang tidak sedikit, berhadapan pula dengan hukum," ujar Gulat.

Menurut Gulat, ada baiknya pemerintah, penegak hukum dan para pemilik lahan duduk bersama, mencari solusi untuk meminimalisir karhutla ke depan. "Bisa jadi dengan meneruskan program pembuatan embung, sumur bor dan alternatif lain yang tentu akan meminimalisir karhutla," Gulat memberi solusi.

Sebab karhutla kata Gulat tidak tiba-tiba, tapi justru pada situasi kemarau yang panjang. "Nah peringatan kemarau panjang ini pasti sudah ada. Pada saat peringatan dini, kita sudah harus siap-siap. Pemerintah dan masyarakat harus bahu membahu untuk ini," ujar Gulat.
Satu hal yang teramat penting lagi kata Gulat, ada baiknya pemerintah tidak terlalu ambil pusing dengan tekanan-tekanan luar, sebab masyarakat Indonesia punya kearifan lokal yang sejak lama sudah diajari melestarikan lingkungan.

"Jika kemudian yang terjadi sekarang adalah banyak lingkungan yang rusak, tentu ada yang miss di sini. Ada yang salah di situ. Bisa jadi ada yang tidak nyambung antara kebijakan pemerintah dan kearifan lokal yang ada," ujar Gulat.

Khusus di Apkasindo kata Gulat, pihaknya kini sedang gencar-gencarnya melakukan inventarisasi kebun kelapa sawit petani. Inventarisasi ini  tidak hanya sekadar untuk membikin data base para pemilik lahan, tapi juga untuk mengetahui pasti, berapa luas lahan petani yang masuk dalam klaim kawasan hutan.

"Kawasan hutan ini jadi momok besar bagi kami. Di saat sawit telah muncul sebagai penyumbang devisa terbesar di negeri ini, di saat itu pula, sawit malah dituding macam-macam. Sawit sudah umpama pelaku kriminimal. Bukankah sawit ini sebenarnya menjadi aset sangat berharga bagi negeri ini. Tuhan memberikan anugera bagi kita untuk menjadi penghasil sawit terbesar di dunia. Saya pikir, ada baiknya kita sikapi ini semua dengan menatanya lebih baik lagi, bukan malah bertahan dengan ego sektoral masing-masing. Salah satunya itu tadi, KLHK misalnya, ngotot dengan klaim kawasan hutannya meski secara eksisting, bukan lagi tutupan hutan," kata Gulat.

Bertahan dengan klaim kawasan hutan kata Gulat telah membikin asing semakin menuding sawit Indonesia perusak. "Padahal, boleh kita cek riwayat sawit petani Indonesia, benar nggak mereka membikin kebun dengan menebangi hutan alam atau malah memanfaatkan lahan yang terlantar," kata Gulat. (lin)