Industri Sawit Hadapi Tantangan Produktivitas

Kamis, 08 Agustus 2019

(Release).

BANDUNG - Tata kelola industri yang berkelanjutan harus mencakup tiga aspek yaitu, profit, people dan planet. Uni Eropa juga harus melihat tuntutan keberlanjutan dalam tiga aspek tersebut secara integral.

"Tidak mungkin kita bisa memenuhi tuntutan keberlanjutan bagi people dan planet jika kita tidak bisa mencapai keberlanjutan dari aspek bisnis,” kata Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), Joko Supriyono saat berbicara pada Seminar Internasional Himpunan Ilmu Tanah Indonesia di Bandung, Selasa (6/8/2019).

Joko mengkritisi diskriminasi Uni Eropa terhadap produk minyak kelapa sawit. Isu deforestasi, HAM hingga terakhir RED II (renewable eneegy directive) yang mengharuskan sawit dikeluarkan sebagai bahan baku biofuel di Uni Eropa.

“Kriteria ILUC (indirect land use change) tidak fair dalam menghitung emisi karbon dalam perkebunan kelapa sawit,” kata Joko.

Dalam konteks ILUC, Joko mengkritisi Uni Eropa dalam menganalisis tutupan lahan dan cut off date dalam perhitungan deforestasi. Eropa menghitung berdasarkan selisih karbon stok hutan primer dengan karbon stok setelah menjadi perkebunan kelapa sawit sebagai emisi sawit tanpa melihat sejarah lahan sebelum menjadi perkebunan kelapa sawit. 

"Padahal kenyataannya lebih dari 70 persen pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit Indonesia berasal dari degraded land yakni lahan terbuka, semak belukar dan bekas areal pertanian, di antaranya perkebunan karet,” katanya. 
 
“Ini tidak fair, seharusnya selisih karbon dihitung dari penggunaan lahan tersebut sebelum menjadi kebun kelapa sawit. Selain itu cut off date penghitungan deforestasi dimulai dari periode 2008, padahal deforestasi untuk pembukaan lahan minyak nabati lain seperti kedelai dan bunga matahari di Eropa dan Amerika sudah jauh lebih dulu dilakukan,” tegas Joko.
 
Jika kita bandingkan ekspansi perkebunan minyak nabati di dunia, dari Departemen Pertanian AS (USDA) tahun 2017 menyebutkan pada tahun 1965, dari seluruh lahan yang digunakan untuk produksi minyak nabati, luas kebunan kedelai mencapai 52 persen, bunga matahari 17 persen, rapeseed 16 persen, dan kelapa sawit 8 persen. Lalu tahun 2016 luas perkebunan kedelai 61 persen, bunga matahari 12 persen dan rapeseed 17 persen serta kelapa sawit 10 persen. Dengan produktivitas pohon kelapa sawit yang 6-9 kali lipat lebih tinggi dibandingkan minyak nabati lainnya. 

“Jadi sesungguhnya, Eropa dan Amerika telah melakukan deforestasi besar-besaran tetapi tidak pernah dibicarakan. Sedangkan Eropa meributkan Indonesia yang tengah berjuang membangun bangsa dengan isu deforestasi,” kata Joko.

Lebih lanjut, sebagai negara produsen minyak sawit terbesar di dunia, Isu keberlanjutan tentu saja menjadi tantangan yang harus dihadapi. Joko menegaskan sustainable palm oil, harus mengedepankan tiga pendekatan dasar yakni profit, people dan planet. Ketiga elemen tersebut harus berjalan karena saling memberikan dampak satu sama lain.
 
Selain black campaign dan diskriminasi UE, tantangan dalam industri kelapa sawit Indonesia adalah masalah produktivitas yang masih rendah. Joko berharap semakin banyak riset yang dilakukan untuk mengatasi masalah produktivitas perkebunan kelapa sawit di Indonesia.
 
Joko memaparkan, kurun tahun 2008 hingga 2017 rata-rata pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit bertambah 6 persen setiap tahun, tidak disertai dengan kenaikan produktivitas. Dalam kurun waktu tersebut rata-rata produktivitas kelapa sawit hanya naik 3 persen setiap tahunnya. Dengan rata-rata yield 11 ton TBS (tandan buah segar) setiap tahunnya. 

“Angka yang jauh lebih rendah dari potensi produktifitas kelapa sawit yang seharusnya bisa mencapai lebih 25 ton per hektar per tahun,” katanya. (*)