Dinamika Ekonomi Global Resahkan Penghasil Minyak Sawit

Kamis, 08 Agustus 2019

Kelapa sawit. (Int)

JAKARTA - Kinerja ekspor minyak sawit Indonesia tidak tumbuh secara maksimal karena ada beberapa dinamika di pasar global khususnya di negara tujuan utama ekspor Indonesia seperti India, Uni Eropa, China dan Amerika Serikat.

Demikian diungkapkan Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), Mukti Sarjono dalam keterangan resminya yang diterima Warta Ekonomi di Jakarta, Rabu (7/8/2019). Ia mengatakan, Industri minyak sawit Indonesia terus menghadapi tantangan global yang berat.

"Salah satu tantangan tersebut adalah ketidakpastian dalam dinamika pasar minyak nabati dunia di mana permintaan dari pasar ekspor tidak meningkat signifikan sehingga harga minyak sawit mentah (CPO) tetap bergerak pada kisaran harga yang rendah. Sementara itu, pertumbuhan daya serap pasar minyak sawit di dalam negeri juga tidak terlalu besar," ujarnya.

Selain itu, lanjutnya, Uni Eropa menggaungkan RED II ILUC dan tuduhan subsidi biodiesel ke Indonesia sedikit banyak juga telah mempengaruhi ekspor Indonesia ke Uni Eropa. Perang dagang China dan Amerika Serikat juga telah mempengaruhi pasar minyak nabati dunia.

Berdasarkan keterangan, semester pertama 2019 Kinerja ekspor minyak sawit Indonesia (CPO dan turunannya, biodiesel dan oleochemical) membukukan kenaikan hanya 10 persen dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun lalu atau dari 15,30 juta ton pada Januari–Juni 2018 naik menjadi 16,84 juta ton pada periode yang sama tahun 2019.

"Volume ekspor Indonesia khusus CPO dan turunannya pada semester pertama 2019 mengalami penurunan hampir di semua negara tujuan utama ekspor Indonesia kecuali China," jelas Mukti.

Semester I 2019, lanjutnya, China membukukan impor CPO dan turunannya (tidak termasuk biodiesel dan oleochemical) sebesar 39 persen atau dari 1,82 juta ton periode Januari–Juni 2018 melambung menjadi 2,54 juta ton pada periode yang sama 2019.

"Meningkatnya permintaan dari China merupakan salah satu dampak dari perang dagangnya dengan AS dimana Negeri Tirai Bambu ini mengurangi pembelian kedelai secara signifikan dan menggantikan beberapa kebutuhan dengan minyak sawit. Sementara volume ekspor Indonesia khusus CPO dan turunannya pada semester pertama 2019 ke Uni Eropa mengalami stagnasi dengan kenaikan yang hanya mampu mencapai 0,7 persen saja atau dari 2,39 juta periode Januari–Juni 2018 naik tipis menjadi 2,41 juta ton periode yang sama 2019," paparnya.

Di lain sisi, lanjutnya, volume ekspor Indonesia khusus CPO dan turunannya pada semester pertama 2019 ke India tersungkur 17 persen atau dari 2,5 juta ton semester I 2018 turun menjadi 2,1 juta ton periode yang sama 2019.

"Penurunan juga diikuti oleh Amerika Serikat 12 persen, Pakistan 10 persen dan Bangladesh 19 persen," ungkap Mukti.

Beralih kepada penyerapan Biodiesel di dalam negeri. Kinerja serapan biodiesel semester I 2019, sangat impresif. Sepanjang Januari-Juni 2019 penyerapan biodiesel telah mencapai 3,29 juta ton atau naik 144 persen dibandingkan periode yang sama 2018 yang hanya mampu menyerap sebesar 1,35 juta ton. Angka ini menunjukkan program mandatori B20 telah berjalan dengan baik di PSO dan non PSO.

"Pemerintah tetap diharapkan untuk mengakselerasi mandatori B30 yang saat ini uji coba jalan sedang berlangsung. Pemerintah juga didorong untuk memperluas penggunaan minyak sawit langsung untuk pembangkit PLN," kata dia.

Menurutnya, jika semua program penyerapan dalam negeri dapat berjalan dengan baik maka, ketergantungan Indonesia pada pasar global akan dapat dikurangi.

"Dari sisi harga, sepanjang semester pertama 2019 harga CPO global bergerak di kisaran US$492,5-US$567,5 per metrik ton dengan harga rata-rata di kisaran US$501,5–US$556,5 per metrik ton," ungkapnya.

Sementara itu, tambannya, produksi minyak sawit pada Juni menunjukkan trend penurunan sebesar 16 persen dibandingkan pada Mei lalu atau dari 4,73 juta ton di Mei menurun menjadi 3,98 juta ton di Juni.

"Sementara itu stock minyak sawit Indonesia di Juni ini masih bertahan di level sedang yaitu 3,55 juta ton," pungkasnya. (*)