Pengusaha Bantah Dapat Subsidi Biodiesel Dari Pemerintah

Kamis, 01 Agustus 2019

(Int)

JAKARTA - Pengusaha membantah menerima subsidi untuk produk biodiesel. Indonesia diancam akan dikenai bea masuk anti subsidi (BMAS) oleh Uni Eropa (UE) sebesar 8 persen hingga 18 persen. Tuduhan tersebut dinilai merupakan kesalahan persepsi dari UE.

"Itu kan masalah persepsi mereka bahwa misalnya Badan Pengelola Dana Pungutan Kelapa Sawit (BPDP-KS) dianggap subsidi, itu kan bukan uang pemerintah," ujar Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Joko Supriyono usai menghadiri pekan riset sawit Indonesia, Kamis (1/8/2019).

Joko bilang Indonesia harus dapat membuktikan tidak adanya subsidi yang diterima. Pasalnya bila aturan tersebut diterapkan akan memukul ekspor minyak sawit Indonesia.

Hal serupa juga diungkapkan oleh Ketua Harian Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi) Paulus Tjakrawan. Paulus bilang aturan yang rencananya diterapkan September mendatang akan membuat produksi turun.

Oleh karena itu perlu melakukan pembelaan terkait hal itu. Upaya pembelaan bagi biodiesel Indonesia dilakukan baik oleh pemerintah mau pun pengusaha sendiri.

Bahkan pembelaan dilakukan hingga bulan Januari mendatang. Pasalnya Januari aturan bea masuk anti subsidi tersebut baru mulai ditetapkan dengan jangka waktu 5 tahun. "Kita harus lawan, kalau tidak negara lain meniru," terang Paulus.

Terdapat 9 tuntutan yang dituduhkan oleh UE sebagai subsidi. Hal itu dinilai oleh Paulus merupakan tuntutan yang tidak memiliki dasar.

Beberapa tuntutannya adalah dugaan subsidi yang diberikan melalui bank ekspor impor (exim) dan PT Asuransi Ekspor Indonesia (asei/Persero). Sebagai badan usaha milik pemerintah, fasilitas yang diberikan oleh bank dianggap sebagai subsidi.

Hal serupa juga terjadi pada hasil produksi minyak sawit PT Perkebunan Nusantara (PTPN). Sebagai perusahaan pelat merah, PTPN dituduh menjual minyak sawit lebih murah ke produsen biodiesel sehingga menurunkan biaya produksi. "Itu omong kosong semua, mana ada mau jual harganya lebih murah," jelas Paulus.

Tuntutan UE pun semakin tidak memiliki kejelasan. Setelah sebelumnya gagal, UE memperluas tuntutan subsidi, bahkan hingga menuduh fasilitas yang diberikan di kawasan industri berikat sebagai subsidi. (*)