Eksportir CPO Menanti Sinyal Positif dari India

Selasa, 02 Juli 2019

Kebun kelapa sawit. (Int)

JAKARTA - India belum memberikan sinyal akan mengubah tarif bea masuk CPO asal Indonesia setelah pemerintah RI menurunkan bea masuk gula mentah.

Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Kanya Laksmi mengaku belum mendapatkan informasi mengenai indikasi kesediaan Pemerintah India untuk menurunkan bea masuk minyak kelapa sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO), terutama produk turunannya dari Indonesia.

Kondisi ketidakpastian itu masih saja terjadi meskipun Indonesia telah bersedia menurunkan bea masuk gula mentah asal India untuk bahan baku gula kristal rafinasi dari 10 persen menjadi 5 persen.

Menurutnya, India masih menuntut hal yang lebih besar dalam hal perdagangan bilateral dengan Indonesia, sebagai syarat menurunkan bea masuk komoditas kelapa sawit.

Pasalnya, berdasarkan data Kementerian Perdagangan, Indonesia mengalami surplus neraca perdagangan dengan India sebesar US$2,40 miliar pada Januari-April 2019. Capaian tersebut turun 8,62 persen dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun lalu.

“Saya melihat, mereka masih meminta hal yang lebih besar dari Indonesia selain menurunkan bea masuk gula mentah sebab neraca perdagangan mereka masih defisit dengan kita,” jelasnya.

Hal itu, menurutnya, membuat Indonesia masih sulit untuk mendapatkan perlakuan serupa dengan yang diterima oleh Malaysia dari India. Sebagai perbandingan, CPO asal Indonesia dikenai bea masuk 40 persen oleh India, sedangkan produk turunannya 50 persen.

Sebaliknya, Malaysia mendapatkan tarif berbeda setelah menjalin pakta dagang MICECA dengan Negeri Bollywood mulai awal tahun ini. Perjanjian dagang itu membuat bea masuk CPO dari Malaysia sebesar 40 persen dan produk turunannya sebesar 45 persen.

“Mereka masih berkeras melindungi industri minyak nabati nonsawit dan industri pengolahan minyak nabatinya sehingga sangat sulit sekali melobi mereka agar menurunkan bea masuk, produk turunan CPO,” lanjut Kanya.

Kondisi itu diperparah oleh rencana Pemerintah India untuk mengenakan pajak pertambahan nilai sebesar 10 persen untuk produk minyak sawit olahan yang diimpor.

Seperti dikutip dari Economic Times pada 1 Juli 2019, Ketua Komisioner Bidang Agrikultura Negara Bagian Maharasthra Pasha Patel mengatakan, para pejabat India telah sepakat untuk mengenakan pajak tersebut.

Keputusan tersebut diambil setelah mempertimbangkan peningkatan volume impor minyak sawit olahan sejak diberlakukannya bea masuk khusus dari Malaysia, pascaditerapkannya MICECA pada awal tahun ini.

Berdasarkan data dari Solvent Extractors Association India, impor produk CPO olahan India melonjak dari 130.000 ton pada Desember 2018 menjadi 350.000 ton pada Mei 2019.

Untuk itu, lanjut Kanya, saat ini upaya yang ditempuh untuk mengurangi bea masuk CPO dan produk turunannya di India tidak lagi hanya dapat dilakukan melalalui jalur pemerintah ke pemerintah.

Dia mengatakan, saat ini para pengusaha CPO Indonesia tengah melakukan pendekatan kepada para importir di India untuk melobi pemerintah India.

“Sudah sangat sulit jika pendekatannya government to government. Saya yakin dengan fenomena melonjaknya impor produk CPO olahan dari Malaysia, India tidak akan mau dengan mudah menurunkan bea masuknya untuk produk dari Indonesia,” katanya.

Saat ini, lanjutnya, Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI) telah aktif melakukan pendekatan kepada sejumlah asosiasi importir CPO di India. Asosiasi itu a.l. Solvent Extractors Association (SEA) India, dan Solidaridad Network Asia Limited (SNAL). (*)