Sawit Didiskriminasi, Hubungan Dagang Indonesia-Eropa Diujung TandukĀ 

Sabtu, 13 April 2019

JAKARTA- Hubungan dagang antara Indonesia dengan negara-negara yang tergabung dengan Uni Eropa berada di ujung tanduk. Indonesia akan mereview ulang semua bentuk perdagangan yang sudah terjalin selama ini. Bahkan, tidak menutup kemungkinan, Indonesia akan meretaliasi produk-produk Eropa yang masuk ke Indonesia. 

Tekanan ini muncul, setelah Uni Eropa tetap ngotot pada keputusan mereka yang mendiskriminasi sawit dalam aturan delegated Act yang merupakan turunan dari Renewable Energy Directive II (RED II).   Aturan ini menempatkan kelapa sawit sebagai komoditas berisiko tinggi terhadap deforestasi atau penggundulan hutan.

"Kita akan kaji ulang kerja sama bilateral Indonesia dengan Uni Eropa  dan negara-negara anggotanya," kata Darmin di Kementerian Koordinator Perekonomian, Jakarta, Jumat, 12 April 2019.

Aturan diskriminasi Uni Eropa terhadap kelapa sawit akan diputuskan oleh parlemen Uni Eropa pada 12 Mei 2019. Parlemen Uni Eropa akan memutuskan RED II diterapkan atau tidak.

Menurut Darmin, yang jadi masalah adalah parlemen Uni Eropa memiliki kebijakan silent procedure yang intinya tanpa ada pembahasan, RED bisa terlaksana. Jika aturan tersebut terlaksana, maka produk kelapa sawit Indonesia akan terdampak besar, terutama bagi 19,5 juta orang yang menggantungkan hidupnya dari industri kelapa sawit.

Jika RED II berlaku maka ada batasan-batasan penggunaan minyak kelapa sawit sebagai bahan baku biofeul di Uni Eropa. Batasan tersebut dibagi menjadi dua kelompok, yang berisiko tinggi dan rendah.

Dalam kategori itu kelapa sawit Indonesia masuk golongan risiko tinggi, dan pasokan minyak kelapa sawitnya (CPO) dibatasi. Contohnya, Uni Eropa memutuskan penggunaan CPO hanya 200 ribu ton per tahun, dan kebijakan itu berlaku sampai 2023.

Parahnya lagi, mulai tahun 2024 hingga 2030 penggunaan CPO sebagai bahan baku biofeul akan menjadi nol. Artinya, setiap tahun sejak 2024 kuotanya bakal terus menurun menjadi nol. Sedangkan untuk risiko rendah, maka penentuan kuota penggunaan CPO diputuskan pada 2020 dan persentasenya masih bisa tumbuh 7% dari total konsumsi di Uni Eropa setiap tahunnya.

Selain itu, pemerintah juga akan memikirkan tawaran parlemen Uni Eropa mengenai dibentuknya sebuah wadah komunikasi antara Pemerintah Indonesia dengan parlemen untuk mempengaruhi keputusan kelapa sawit sebagai komoditas yang selama ini dinilai berisiko tinggi.

Padahal, kata Darmin, penggunaan lahan soybean dan sunflower sembilan kali lebih besar dari lahan yang digunakan untuk kelapa sawit. Bahkan, produktivitas minyak kelapa sawit untuk setiap hektarnya 10 kali lebih besar dari minyak nabati yang dihasilkan dari soybean, sunflower, rapeseed.

Sementara itu, Staf Khusus Kementerian Luar Negeri Peter F Gontha menambahkan pemerintah Indonesia pun siap menempuh litigasi atau jalur hukum melalui forum WTO.

"Kalau sampai delegated act pada 12 Mei diberlakukan kita akan menempuh jalan litigasi ke WTO," kata Peter.

Menurut Peter, sikap pemerintah Indonesia untuk menempuh jalur hukum pun sudah disampaikan pada saat pertemuan di Brussels, Belgia pada 8-9 April 2019.(rdh/dtc)