CPOPC Memprotes Keras Delegated Act

Selasa, 09 April 2019

JAKARTA- Gabungan Negara-negara Penghasil Minyak Sawit (CPOPC) memprotes keras Suplemen Resolusi petunjuk Tambahan 2018/2001 Uni Eropa mengenai Energi Terbarukan (Renewable Energy Directive II, Delegated Act). Protes ini disampaikan dalam pertemuan di Brussel, Belgia. 

CPOPC diwakili oleh tiga negara penghasil utama sawit. Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution memimpin delegasi Indonesia, sedangkan Malaysia dipimpin oleh Tan Yew Chong, Sekretaris Jenderal Kementerian Industri Primer Malaysia. Kolombia yang bertindak sebagai negara pengamat, diwakili oleh Felipe Garcia Echeverri, Duta Besar Kolombia untuk Kerajaan Belgia.

Keberangkatan para delegasi ini dalam misi gabungan untuk menemui perwakilan komisi Uni Eropa itu merupakan tindak lanjut dari keputusan yang disepakati dalam Pertemuan Tingkat Menteri ke-6 CPOPC yang diadakan pada tanggal 28 Februari 2019 di Jakarta.

Berdasarkan siaran resmi CPOPC, Selasa, 9 April 2019, dalam pertemuan tersebut telah tercapai kesepakatan bersama untuk membahas langkah-langkah diskriminatif yang ditimbulkan otoritas Uni Eropa mengenai pembatasan pengunaan Kelapa Sawit untuk Biofuel.

Negara-negara Anggota CPOPC memandang Undang-undang yang anti kelapa sawit di Uni Eropa bertujuan untuk mengisolasi minyak kelapa sawit dari sektor energi terbarukan. Hal itu demi keuntungan minyak nabati lain seperti sunflower, rapeseed dan juga soyabean oil.

"Dalam pandangan kami, maksud dari undang undang yang diusulkan ini adalah untuk membatasi dan melarang semua minyak sawit di Uni Eropa untuk pengunaan biofuel melalui penelitian yang cacat secara ilmiah dengan mempergunakan ILUC [Indirect Land Use Change] perubahan penggunaan lahan secara tidak langsung," demikian bunyi pernyataan bersama CPOC, Selasa, 9 April 2019.

Menurut ketiga negara, kriteria yang dipergunakan dalam “Delegated Act”, tidak berdasar dan sengaja memfokuskan minyak kelapa sawit sebagai penyebab deforestasi. Tapi tidak memasukkan penelitian lingkungan yang lebih luas terkait dengan budidaya minyak nabati lainnya termasuk rapeseed dan soyabean.

Lebih lanjut, undang-undang yang diajukan Komisi Uni Eropa dipandang oleh CPOPC sebagai instrumen yang menghambat pengentasan kemiskinan dan tujuan pembangunan berkelanjutan sesuai misi PBB.

"Kami sangat menentang delegated act yang mengklasifikasikan minyak kelapa sawit sebagai produk yang tidak memperhatikan pembangunan yang berkelanjutan karena ILUC yang 'berisiko tinggi," dalam siaran resmi.

CPOPC dengan tegas menyuarakan keprihatinan, karena asumsi-asumsi yang didasarkan pada kriteria yang tidak akurat dan tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah bertolak belakang dengan fakta di lapangan.

Komisi Uni Eropa berargumentasi bahwa undang-undang didasarkan pada alasan ilmiah dan lingkungan sangat irasional. Komisi Uni Eropa juga menyimpulkan bahwa minyak kedelai dari sumber selektif telah dikategorikan sebagai ILUC risiko rendah, meskipun penelitian internal Uni Eropa menyimpulkan bahwa kedelai lebih bertanggung jawab terhadap deforestasi.

CPOPC akan menyampaikan kekhawatiran Pemerintah kepada para pemimpin dan otoritas Uni Eropa dengan harapan dapat membuka jalan solusi yang dapat diterima oleh semua pihak yang terkait termasuk pihak stakeholders sebagai pengguna minyak kelapa sawit dari Uni Eropa.(rdh/bc)