CPO PerluĀ Perlakukan Setara di Pasar Uni Eropa

Rabu, 20 Maret 2019

PONTIANAK- Gabungan pengusaha kelapa sawit (GAPKI) mendukung dan siap berjuang bersama pemerintah  di berbagai forum lobby internasional  agar kedepan Crude Palm Oil (CPO) ditempatkan setara dengan minyak nabati lain di pasar komoditas Uni Eropa (UE).

Disisi lain, Pemerintah, GAPKI  dan para pemangku kepentingan lain tetap  melakukan perluasan pasar CPO diantaranya bernegosiasi secara Bussiness to Bussiness (BB) dengan negara importer diluar UE seperti India, Pakistan, Tiongkok dan Afrika.

Pernyataan itu disampaikan Direktur Eksekutif GAPKI DR Mukti Sardjono dan  Sekjen Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI) DR Bambang Aria Wisena, Selasa 19/3 disela-sela persiapan Borneo forum  yang berlangsung di Hotel Ibis, Pontianak pada 20-21 Maret 2019.

Mukti berpendapat, sejak awal, UE tidak punya niat baik terkait Rancangan aturan Delegated Regulation yang disetujui Komisi Uni Eropa pada 13 Maret 2019. 

"Sebelumnya, UE berjanji memberikan kesempatan bagi Indonesia dan Malaysia untuk memberikan masukan hingga 17 Maret, namun secara sepihak menyetujui sendiri kebijakannya pada tanggal 13 Maret," kata Mukti.

GAPKI juga mendukung langkah pemerintah untuk menggugat Delegated Regulation yang disahkan Komisi Uni Eropa ke World Trade Organization (WTO).

Menurut Mukti, ada beberapa keuntungan jika gugatan disampaikan melalui WTO. Salah satunya   karena kebijakan WTO selalu mengacu pada tujuan pembangunan berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs).

Dalam SDGs  ada 17 tujuan dengan 169 capaian yang terukur dan tenggat yang telah ditentukan oleh  Perserikatan Bangsa-bangsa/PBB atau United Nations (UN) sebagai agenda dunia pembangunan untuk kemaslahatan manusia dan bumi diantaranya pengentasan masyarakat miskin.

"Indonesia dan Malaysia akan memperjuangkan industri sawit sebagai komoditas yang menjadi sebagai sumber mata pencarian dan sumber pengentasan kemiskinan," kata Mukti.

Pernyataan senada dikemukakan  Bambang Aria. Menurut Bambang Aria, pelaku industri sawit nasional tetap pada sikapnya menolak keputusan Komisi Eropa. Alasannya, metodologi penelitian yang digunakan Komisi Eropa tidak fair karena cenderung memberatkan komoditas sawit.

Sebagai satu kebijakan, harusnya putusan itu lahir dari kajian yang komprehensif. Misalnya perlu ada perbandingan antara  CPO dengan minyak bunga matahari, minyak kedelai, atau rapeseed oil.

Menurut Bambang Aria, dibandingkan minyak nabati lain, sawit punya banyak keunggulan. Mengutip kajian International Union for Conservation of Nature (IUCN), kata Bambang sawit lebih hemat 9 kali lipat dibandingkan tanaman penghasil minyak nabati lain dalam penggunaan lahan.

Selain itu kelapa sawit memiliki produktivitas 3,8 metrik ton (MT) per hektare per tahun. Sedangkan rapeseed oil hanya 0,6 MT dan minyak kedelai 0,5 MT per hektare per tahun.

Disisi lain, Pemerintah secara konsisten berupaya meningkatkan keberlanjutan komoditas tersebut dengan mengeluarkan beragam regulasi. Salah satunya adalah melakukan peremajaan menggunakan bibit  yang lebih unggul, sehingga tidak perlu perluasan lahan,” kata Bambang. (tps)