Guru Besar IPB Tuding RED II, Tak Lebih Politik Dagang Eropa 

Senin, 18 Maret 2019

Ketua Apkasindo Riau Gulat Medali Emas Manurung bersamaGuru Besar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, Prof. DR. Ir. Yanto Santosa, DEA

PEKANBARU-Keputusan Uni Eropa yang akan menghapus secara bertahap penggunaan bahan bakar nabati/BBN (biofuel) berbasis minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) hingga 2030. 

Serta menerapkan dalam rancangan terbaru regulasi Renewable Energy Directives II (RED II) tersebut, Komisi Eropa menyimpulkan bahwa perkebunan kelapa sawit telah mengakibatkan deforestasi besar-besaran, dikatakan Guru Besar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, Prof. DR. Ir. Yanto Santosa, DEA, sebagai politik dagang Uni Eropa. 

"Semuanya adalah politik dagang Eropa, dan saya sudah berkeliling di beberapa negara di Eropa, seperti Luxemburg, Berlin, Belgia dan Prancis. Tidak ada penolakan dari warganya yang mengkonsumsi turunan minyak sawit. Bahkan, keterangan dari para pendidik-pendidik mereka, juga tidak ada tudingan deforestasi. Jadi semuanya adalah politik dagang," ujarnya saat dihubungi SawitPlus.co, Senin, 18 Maret 2019 siang. 

Profesor yang sudah tidak asing lagi mensuarakan sawit Indonesia dikacah Internasional telah melakukan sejumlah penelitian terkait sawit, juga mengatakan tidak menemukan adanya indikasi dari deforestasi dari kelapa sawit.

 "Di Indonesia untuk membuat perkebunan kelapa sawit dalam skala besar, aspek legalnya sudah dipenuhi meskipun ada beberapa hal yang harus diperbaiki. Demikian juga Lahan Perkebunan Sawit yang diperoleh dari transaksi jual beli, hingga pemberdayaan kawasan hutan adat. Semuanya memiliki legalitas hukum yang sah dan pemerintah sudah berupaya selalu komit dengan konsep perkebunan kelapa sawit berkelanjutan. 
Kawasan perkebunan kelapa sawit diperoleh dari pelepasan alih fungsi hutan dengan izin yang lengkap", ujarnya. 

Bahkan dari hasil penelitian yang dilakukannya, dikatakan Prof DR Yanto Santosa, DEA, eks kawasan hutan yang dijadikan perkebunan sawit ini bukan hasil dari deforestasi hutan primer. 

Uni Eropa, dikatakan dosen IPB ini harus menerima fakta, bahwa produktivitas kelapa sawit jauh lenih efisien dimana Produktivitas sawit lebih dari 8 kali lipat dibandingkan minyak nabati lain, seperti kacang kedelai dan bunga matahari. 

Akibatnya, setiap melakukan pola tanam kedelai dan lain-lain, mereka lebih parah dalam hal merusak dan melakukan deforestasi, penyiraman pupuk yang berlebihan, hingga pestisida yang mengancam kepada tanaman-tanaman lainnya. 

"Harusnya mereka sadar, Indonesia ini adalah anugerah dari Tuhan untuk kelestarian lingkungan, karena letak yang tropis ditumbuhi perkebunan sawit. Hasil penelitian yang saya lakukan, di Riau, Sumsel, Kalbar, Kalteng menunjukkan bahwa diatas 90 persen berada diatas lahan HGU, dan bukan diatas tutupan hutan primer," tambahnya. 

Jila Eropa tetap ngotot, menurut Prof.Dr. Yanto Santosa, DEA, pemerintah harus mempercepat penyerapan sawit domestik. Termasuk di dalamnya, mempercepat program B20 hingga B50. "Jika dua program terakhir ini bisa terwujud, kita tak perlu lagi takut dengan ancaman Eropa atau ancaman dari negara manapun. Indonesia akan kuat secara ekonomi, " paparnya.

Sementara itu, Ketua Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo), Gulat Medali Emas Manurung yang ditemui secara terpisah mengatakan, sudah saatnya Indonesia mulai start dari nol melawan ketidakadilan dari Uni Eropa terhadap sawit. 

"Singkirkan semua kepentingan kelompok atau korporasi. Ini masalan negara, nasib 19 juta petani sawit Indonesia sebagai ring 1 dan 38 juta jiwa di lini ring 2 sawit Indonesia. Secara keseluruhan ekonomi negara kita yang sudah membuktikan Rp306 Triliun. Devisa negara tertinggi dari kelapa sawit, wajib kita bersatu padu di dalam menjaganya," ujar Gulat. 

Gulat juga mengingatkan tidak ada waktunya saling menyalahkan. Bahkan, Presiden Joko Widodp telah all out memperjuangkan sawit Indonesia di kancah nasional dan internasional. 

"Kita harus mendukung penuh dengen memegang teguh konsep keberlanjutan dan prinsip sawit Indonesia adalah Kita Indonesia. Biarkan saja, Uni Eropa memindah-midahkan gawang sebagai aturan yang selalu berganti. Kita fokus saja ke satu gawang, yaitu perkebunan kelapa sawit Indonesia berkela jitan sebagaimana yang dituangkan di dalam ISPO. Kita bisa berbeda pendapat masalah Capres, tapi kalau masalah Sawit Indonesia, kita harus SATU kata. Sawit Indonesia adalah Anugerah terindah dari Tuhan kepada Indonesia, "ujarnya mengakhiri

Sawit yang digunakan sebagai politik dagang oleh Eropa ini juga disampaikan Menteri Industri Primer, Malaysia, Teresa Kok. Dalam pres releasenya, Teresa Kok menuding Eropa menerapkan politik proteksionisme. 

"Ini politik perdagangan Uni Eropa, dan menerapkan standar ganda. Eropa tidak mau menyebutkan bahwa kacang kedelai dan tanaman kacangan lainnya sebagai bahan minyak nabati yang merupakan sesungguhnya penyumbang lebih besar terhadap deforestasi," ujarnya.(rdh)