Malaysia-Prancis Helat Dialog, Upaya Bangun Citra Positif Industri Sawit 

Kamis, 21 Februari 2019

JAKARTA-Malaysia dan Prancis akan menghelat sejumlah dialog dan pertemuan untuk membangun pemahaman yang lebih baik tentang industri kelapa sawit.

"Kami berharap hal ini akan mendorong banyak pertanyaan lebih lanjut terkait produksi minyak kelapa sawit dan [industri] keberlanjutan di antara para pembuat kebijakan Prancis dan konsumen-konsumennya," kata Menteri Industri Utama Malaysia Teresa Kok dalam sebuah pernyataan dikutip dari Bloomberg, Rabu, 20 Februari 2019.

Malaysia menempuh langkah ini setelah Parlemen Prancis baru-baru ini memutuskan untuk mengecualikan minyak kelapa sawit sebagai bahan baku biodiesel, serta mengakhiri insentif pajak bagi minyak tersebut pada 2020.

Kok, yang menerima telepon daro Duta Besar Prancis untuk Malaysia Frederic Laplanche di kantornya, Senin (18/2/2019), mengatakan, mereka membahas peningkatan kerja sama bilateral dan dialog mengenai sawit.

Bulan lalu, Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad mengirim surat protes dan meminta Presiden Prancis Emmanuel Macron untuk menolak langkah Majelis Nasional Prancis tersebut. Menurut Mahathir, langkah tersebut dapat menyebabkan konsekuensi ekonomi dan perdagangan yang mengecewakan.

Sebelumnya, produsen minyak kelapa sawit terbesar di dunia, Indonesia, tidak akan menerima rencana Uni Eropa untuk mengekang penggunaan tanaman tersebut.

Draf Uni Eropa yang mulai berlaku setelah 4 minggu konsultasi publik, menyimpulkan bahwa budidaya kelapa sawit menghasilkan deforestasi dan penggunaannya dalam bahan bakar transportasi harus dihapuskan pada 2030.

Indonesia hendak menantang rencana yang dikenal sebagai RED II itu di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Alasannya, peraturan tersebut tidak memenuhi prinsip-prinsip perdagangan bebeas. Selain itu, metode yang digunakan untuk mendefinisikan keberlanjutan cenderung diskriminatif.

"UE ingin memposisikan dirinya, terutama dalam situasi global saat ini, sebagai pembela perdagangan bebas tetapi mereka bertindak seperti ini [membatasi perdagnagan]," kata Mahendra Siregar, staf khusus di kementerian luar negeri dikutip dari Reuters, Rabu (20/20).

Siregar mengatakan, kerusakan lingkungan juga disebabkan oleh minyak nabati lainnya. Sementara dengan hasil produksi lebih tinggi, membuat kelapa sawit lebih baik ditempatkan untuk memenuhi permintaan minyak nabati global yang diperkirakan akan mencapai setidaknya 320 juta ton pada 2025.

Sebab, untuk memenuhi permintaan tersebut, kedelai akan membutuhkan area budidaya sepuluh kali luas dari yang dibutuhkan untuk kelapa sawit. Sementara itu, dalam kasus lobak hingga enam kali lipat.

“Dalam konteks ini, minyak kelapa sawit adalah yang paling berkelanjutan,” kata Siregar, yang juga merupakan direktur eksekutif Dewan Negara-negara Penghasil Minyak Sawit.(rdh/bc)