Jajaki Pasar Afrika dan Timteng, Ekspor CPO Terhambat Sistem Pembayaran

Senin, 28 Januari 2019

JAKARTA—Meski potensinya sangat besar, namun ekspor minyak sawit atau crude palm oil (CPO) ke Afrika dan sebagian negara di Timur Tengah tidak bisa berjalan maksimal. 

Banyak hal yang menjadi kendalanya, mulai dari sistim pembayaran, kontrak pembelian hingga ketersedian hubungan ekspor.

Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Kanya Lakhsmi Sidarta mengatakan, para eksportir CPO sebenarnya telah menjajaki pasar baru seperti Afrika dan Timur Tengah. Namun, mereka kerap kesulitan menjalin kontrak pembelian akibat terbatasnya bank yang menyediakan layanan pembiayaan ke negara nontradisional.

“Beberapa dari kami mengeluh, inginnya transaksi pakai rupiah, karena dolar AS terlalu fluktuatif. Namun, konsumen di negara nontradisional juga minta memakai mata uang mereka dalam transaksinya. Kondisi ini yang belum bisa dijembatani oleh perbankan kita di dalam negeri,” jelasnya, Minggu, 27 Januari 2019 sperti yang dilaporkan bisnis.com. 

Pada akhirnya, tutur Kanya, banyak eksportir CPO yang memilih untuk terus menunda ekspansi pasar ekspornya ke negara nontradisional.

“Dengan negara di Timur Tengah, misalnya, mereka mengadopsi sistem keuangan syariah dan meminta penjamin ekspor CPO dari Indonesia dilakukan oleh pemerintah, bukan lembaga swasta. Padahal, di Indonesia tidak ada aturan yang menyebutukan pemerintah menjadi penjamin perdagangan.”

Dia melanjutkan, negara nontradisional sejatinya sangat berpotensi untuk dijadikan sumber pendapatan baru dari para eksportir CPO. Negara-negara Afrika Utara sangat meminati CPO lantaran mayoritas negara di kawasan itu mengadopsi budaya Eropa yang gemar menggunakan minyak sawit sebagai campuran makanan.

Namun, dia juga melihat adanya kendala dari sisi ketersediaan hub ekspor ke negara nontradisional. Saat ini, belum ada negara yang bisa menjadi hub ekspor CPO ke kawasan Afrika, Asia Selatan, dan Timur Tengah.

Menurut Kanya, hanya Pakistan yang berpeluang dijadikan hub ekspor CPO untuk kawasan Timur Tengah dan Asia Selatan. Namun, pembangunan pabrik dan gudang CPO di Pakistan hingga saat ini belum dapat terlaksana karena masih besarnya hambatan di sana.

“Untuk Afrika Utara, kami masih mengandalkan hub di Belanda, yang sebenarnya kami tujukan untuk pasar Eropa. Andai kata pemerintah bisa menjembatani dengan membuka hub ekspor di Afrika, tentu itu akan menjadi insentif yang besar,” jelasnya.

Diektur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia Sahat Sinaga menambahkan, pembentukan pakta dagang yang menyertakan perjanjian dalam hal pembiayaan dan transaksi perdagangan CPO dan produk turunannya menjadi solusi atas permasalah tersebut.

Berdasarkan data Gapki, pada 2018, volume ekspor CPO dan turunannya tercatat naik 3,1% secara year on year menjadi 32,02 juta ton.  Sementara itu, produksinya pada tahun lalu mencapai 47,61 juta ton atau tumbuh dari 42,04 juta ton pada 2017.(rd)