Ketua Himpunan Gambut : Kebakaran Lahan Gambut Itu Regulasi Salah Alamat

Jumat, 01 September 2017

Kebakaran lahan masih didominasi persoalan sosial yang ada di tengah masyarakat. Itu bisa dilihat dari kebakaran yang menghanguskan 4.600 hektar sabana di Kupang. Kebakaran ini akibat tradisi masyarakat membakar lahan untuk mendapatkan rumput hijau bagi ternak. Dan beberapa kebakaran di sejumlah daerah lain juga sama, mengatasnamakan kearifan lokal. Ini harusnya bisa menjadi pembelajaran bagi pemerintah. Untuk itu, Ketua Himpunan Gambut Indonesia (HGI) Supiandi Sabiham mengingatkan, pemerintah perlu menyadari, bahwa ada sejumlah regulasi yang salah alamat. Semisal mengaitkan kebakaran dengan persoalan lahan, terutama gambut. “Seharusnya yang diselesaikan adalah persoalan sosial, yaitu bagaimana negara hadir untuk membantu kesejahteraan masyarakat agar persoalan kebakaran bisa terselesaikan,” kata Supiandi di Jakarta, Kamis (31/8). Supiandi mengingatkan, pemerintah seharusnya secara tegas memberlakukan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang melarang membakar. Penegasan itu ada dalam pasal 69 ayat (1) huruf h. Hanya yang disayangkan, menurut Supiandi, pada ayat 2 memuat pasal karet yang membuka peluang melakukan pembakaran dalam membuka lahan. Ketentuan itu diatur pada ayat (1) huruf h yang berbunyi : “memperhatikan dengan sungguh-sungguh kearifan lokal di daerah masing-masing”. Supiandi berpendapat, bila ingin tetap memberlakukan kearifan lokal, seharusnya negara hadir dalam mengawasi kegiatan masyarakat. Malaysia juga memberlakukan kearifan lokal membuka lahan dengan cara membakar. Hanya saja, kegiatan itu dilaporkan dan diawasi negara, sehingga api tidak meluas dan mengakibatkan kebakaran. “Bayangkan jika ada seribu kepala keluarga, maka ada 2.000 ha lahan dibakar dan berpotensi menjadi bencana kebakaran. Ini akibat tidak adanya kontrol pemerintah dan kemampuan masyarakat memadamkan api,” katanya. Lebih disayangkan lagi, ketika bencana sudah terjadi, penerapan aturan strict liability (tanggung jawab mutlak) dalam UU 32/2009 hanya ditimpakan kepada satu pihak, yaitu korporasi. Padahal, seharusnya menjaga konsesi merupakan tanggung jawab yang sama. Kesiagaan korporasi sawit dan HTI menetapkan desa bebas api seharusnya bisa menjadi contoh, bahwa tanggung jawab pengawasan ada pada semua pihak. “Di situ ada korporasi, masyarakat, pemerintah daerah yang bahu-membahu punya tanggung jawab bersama untuk mencegah terjadinya kebakaran lahan,” kata Supiandi. Sedang ahli hukum pidana Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) Dr Chaerul Huda mengatakan, pemahaman tanggung-jawab adalah kelanjutan dari perbuatan. Tanggung-jawab mutlak bisa diberlakukan bagi korporasi jika kebakaran itu diakibatkan oleh kegiatan korporasi dan memberi keuntungan pada korporasi. “Jadi yang bisa dipertanggung-jawabkan adalah perbuatan,” kata Huda. Kalau peristiwa itu disebabkan oleh sebab lain, misalnya ada masyarakat yang memancing di sekitar kawasan konsesi korporasi dan tanpa sengaja menjatuhkan puntung rokok sehingga mengakibatkan kebakaran, ini tidak bisa menjadi tanggung jawab korporasi. jss