Tragedi Setan (58) : Iblis itu Menyalahkan Allah

Kamis, 29 November 2018

Mereka tidak melihat, kata-kata itu adalah bukti yang bertentangan dengan posisi mereka sendiri. Sebab kenyataannya, Allah tidak memilih untuk menghukum atau menyelamatkan semua manusia mentah-mentah.

Dia membolehkan manusia untuk ikut serta dalam proses penyelamatan atau penghukumannya sendiri melalui amr-Nya, perintah eksternal-Nya. Perintah ini tersurat melalui penyampaian wahyu-wahyu oleh para nabi, Al-Qur'an dan sunnah nabi. Manusia memiliki kekuatan untuk menerima atau menolaknya secara bebas.

Ibnu Ghanim membandingkan hubungan antara kebebasan manusia dan kehendak Allah yang kreatif dengan dua orang yang sedang membawa sebuah beban berat. Salah seorang mampu membawanya, sedangkan orang yang lain lemah dan tidak mampu membawanya sendiri.

Mereka mengangkat beban dan saling membantu satu sama lain sepanjang perjalanan, walaupun orang pertama pada dasarnya merupakan seseorang yang benar-benar memiliki kekuatan. Orang yang lemah ikut berpartisipasi sebagai seorang mitra, yang secara aktif ikut berbagi rasa dalam memindahkan beban.

Sementara, kehendak Allah merupakan sumber utama kekuatan bagi apa pun atau siapa pun yang muncul. Dia juga menggunakan amr-Nya untuk memberi manusia perintah-perintah dan larangan-larangan, dimana dia dapat menerima atau menolaknya dengan kemampuan yang diberikan Allah kepadanya. Dalam cara ini manusia mampu ikut berpartisipasi dalam proses penyelamatan atau penghukumannya sendiri.

Pertama kali yang melibatkan dirinya dalam kekacau-balauan ini adalah Iblis. Ketika berhadapan dengan paradoks Allah, dia mengambil pegangan irada dalam upaya untuk menyelamatkan dirinya, seraya berkata, "Engkau telah menyebabkan aku tersesat."

Selanjutnya dia mengabaikan kehendak dan menggantungkan dirinya sendiri pada tali-tali amr dengan kata-katanya : "Sesungguhnya aku akan menghiasi untuk mereka (manusia) semua hal di dunia, dan aku akan membuat mereka menjadi sesat."

Dengan yang pertama dia memprakarsai kelompok Jabariyah (necessitarianism), karena dia mengabaikan semua harapan dari kebebasan pribadi. Dan yang terakhir dia membentuk kelompok Qadariyah, kebebasan radikal, karena dia menganggap perbuatan-perbuatannya berasal dari dirinya sendiri.

Iblis menjadi buta akan Jalan Yang Lurus dan tidak memperhatikan orang-orang lainnya yang mengikuti Jalan Kemalaikatan yang taat terhadap irada maupun amr. Dia menjadi orang pertama yang kehilangan kemurahan Allah, orang yang pertama memperdaya orang lain, orang yang pertama yang melanggar jalan Allah dengan dosa.

Namun disamping penolakan serta penghukuman atau kutukan terhadapnya oleh Allah, Iblis telah mengumpulkan balatentara setan dan para jin yang menjelajahi dunia untuk mempengaruhi jiwa-jiwa manusia. Menggoda umat manusia agar terjerumus dengan setiap kesenangan duniawi.

Ibnu Ghanim selanjutnya menjelaskan, dia menulis buku dalam upaya untuk membantu menghentikan kedurhakaan Iblis dan para pengikutnya. Beberapa dari kedurhakaan itu adalah tipu daya Iblis.

Ibnu Ghanim juga berniat untuk tetap berhadapan dengannya pada setiap kesempatan. Dan dia percaya mampu melakukannya karena rumah Iblis terbentuk pada waswasa, bisikan untuk menggoda, sedangkan dirinya terbentuk pada aturan-aturan agama yang mendasar.

Tapi begitu, Iblis sebagai musuh jangan diremehkan. Kapan saja dia terdesak ke sudut amr, dia akan berpisah ke sudut yang berlawanan, yaitu irada. Dan kapan saja dia terperangkap dalam muatan-muatan Hukum Syari'at yang sempit, dia akan segera berpindah ke dalam luasnya Keagungan Ma'rifat Allah.

Ibnu Ghanim menceritakan tentang Iblis dengan jelas. Ia menyebutkan kembali daftar kesenangan Ilahiah yang diberikan kepadanya pada masa yang lalu. Kehormatan dan kemuliaannya. Peranannya sebagai orang yang mencapai penyatuan Ilahi. Cahayanya yang berapi-api, pengetahuannya yang sangat luas, kedudukannya sebagai pengajar para malaikat dan pimpinan Cherubim, kesempurnaannya dalam beribadah.

Kemudian diciptakan Adam, dan karena kesombongannya yang terlalu besar, Iblis menjadi buta akan keadaannya yang sebenarnya. Jika dia melihat perbedaan yang sebenarnya antara derajat sendiri dan derajat Adam, Iblis tentu tidak menolak amr Allah.

Dan inilah sebabnya mengapa Allah memerintahkan makhluk-makhluk untuk tunduk kepada amr-Nya dan bukan karena keterpaksaan, untuk menguji mereka dan menemukan keadaan mereka yang sebenarnya. Iblis telah melampaui batas-batas kehambaan dan terus saja berlaku begitu. Mengapa dia harus terkejut jika dijatuhkan, diusir dan dihukum ke dalam api neraka yang abadi?

Iblis menjawab dengan argumen yang sampai sekarang cukup terkenal : "Allah berbuat apa yang Dia kehendaki. Tak ada seorang pun yang memiliki kekuasaan untuk menolaknya. Dia berkehendak terhadapku sebagaimana yang engkau lihat. Aku tidaklah bersalah karena apa yang telah aku lakukan pada dasarnya diakibatkan oleh kehendak Allah. Untukku Allah telah menetapkan sebuah kutukan. Untuk Adam menetapkan kasih sayang."

Ibnu Ghanim menolak untuk membiarkan Iblis menyamakan keadaan dirinya dengan keadaan Adam. Ketika Adam melihat anak panah irada menembus urat darahnya, dan pena takdir Allah telah mencatatkan putusannya, dia mengakui kedua bagian jeratnya, irada dan amr, dan menganggap kesalahannya berasal dari dirinya.

Inilah perbuatan yang benar bagi seorang hamba di hadapan Kemahakuasaan Tuhannya. Namun Iblis tidak hanya menolak perintah Allah, tetapi juga menyalahkan Allah sebagai penyebab utama dari dosanya, dari pada menerima kesalahan dirinya sendiri. (jss/bersambung)