Ini Bali Masa Lalu, Desa Kuno Tenganan Pagringsingan

Rabu, 28 November 2018

Jika ingin melihat Bali masalalu, datanglah ke Tenganan Pagringsingan. Desa ini tetap mempertahankan adat dan tradisi, termasuk arsitektur rumah. Malah sapi juga dibiarkan hidup menyatu. Benarkah penduduknya asli Majapahit saat Kerajaan Demak berdiri?

Jika kita baca ‘Negara Teater’ tulisan Clifford James Geertz, maka kepercayaan masyarakat Tenganan yang menganggap sebagai pelarian Majapahit terasa masuk akal. Sebab raja di Bali dengan tegas menolak takluk pada Belanda. Dan terjadilah pembunuhan massal.

Desa Tenganan yang ada di Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem itu tetap teguh menjaga tradisinya. Desa ini tidak terusik oleh zaman. Berpegang pada awig-awig (aturan adat) yang sudah dijalankan ratusan tahun. Dan itu yang membuatnya berbeda dengan desa yang ada di Bali pada umumnya.

Memasuki desa ini memang amat lain. Hidup terasa nyaman dan aman, karena nilai kemanusiaan tetap terjaga. Antar tetangga sama-sama akrab. Keakraban itu pula yang membuat siapa saja yang berkunjung ke desa ini ikut terkena vibrasinya.

Awal saya kenal dengan desa ini di tahun 80-an. Saat ada keperluan di Hyatt Hotel Denpasar, saya bertemu dengan Made Gunawan, warga Tenganan. Dia ahli suling, yang sehari-harinya meniup seruling itu di hotel ini.

Ketika saya duduk sambil menikmati suara serulingnya, maka terjadilah dialog dan kenalan. Ini berlanjut saya diajak ke desanya. Menikmati penganan khas desa ini. Juga mengenali tradisi, adat serta budayanya.

Tidak disangka, ketika ada di desa ini, seorang gadis lewat. Gadis itu seperti tak asing lagi. Dan benar. Dia adalah Made Lastrini, teman yang hampir saban hari sua di Denpasar. Itu karena kala itu saya masih di The Archipelago, Culture & turism Magazine yang berkantor di Denpasar. Sejak itu saya acap pergi ke Tenganan. Bergaul dengan banyak sahabat di desa ini.

Tenganan sangatlah berbeda. Desa ini teguh memegang adat. Ritusnya pun lain. Kematian di desa selain dimandikan dengan amerta (air suci) yang ada di mata air setempat, juga harus dibilas dengan air beras. Itu tidak dilakukan di desa-desa Bali yang lain.

Dan gadis-gadis asli Tenganan, dilarang adat untuk kawin dengan lelaki di luar desa ini. Itu kalau dilakukan, maka dia harus keluar dari komunitas desa ini. Itu yang membuat perjaka atau gadis desa ini harus berhitung seribu kali sebelum melanggar aturan adat itu.

Hanya, sebagai Orang Jawa, kadang menjadi ganjalan ketika membaca lontar yang terkemas dalam adat ‘Memaling-maling’. Sebab dalam lontar itu tertulis dengan tegas, bahwa yang disebut ‘maling’ itu adalah Nak Jawi (anak Jawa). “Wah, sing (tidak) begitu maksudnya Mas Djoko. Nak Jawi itu semua orang selain Orang Bali,” kata Gunawan sambil terbahak. Djoko Su’ud Sukahar