Tragedi Setan (54) : Jibril dan Mikail Menangis Sedih

Ahad, 25 November 2018

Untuk permasalahan ini, tidak selesai hanya dengan memilih salah satu posisi, yaitu kebebasan radikal atau takdir. Yang menurut Watt, ada dua tingkatan doktrin takdir. Yang pertama menyatakan bahwa Allah menentukan apa yang

terjadi terhadap manusia, tetapi bukan reaksi manusia terhadap lingkungan sekitarnya. Dan yang kedua menempatkan apa yang terjadi dan reaksi manusia pada pengaruh Kemahakuasaan Allah yang menentukan.

Sampai abad kesembilan, tingkatan yang pertama telah diterima secara umum. Sedangkan yang kedua masih menjadi obyek perdebatan karena para pemikir agama berusaha untuk mempertahankan beberapa bagian kebebasan bagi manusia.

Rumusan klasik yang menggunakan posisi gambaran yang lebih mempercayai takdir dijelaskan dalam karya Al-Asy-ari (wafat 935 M) dan alirannya. Dia sendiri merupakan pengikut fanatik aliran orang-orang yang lebih menganut Kemahakuasaan Allah yang mutlak dan kebebasan manusia yang terbatas. Qadar yang dia tolak, mengajarkan bahwa semua perbuatan manusia adalah ciptaan Allah sendiri.

Kausalitas yang tidak sama, bagaimanapun juga bisa saja berpengaruh agar jangan sampai kekuasaan Allah, yang dapat menembus apa saja, menjadi berkurang karena pernyataan, bahwa penciptaan memiliki suatu urutan kejadiannya sendiri.

Dalam menentukan Kemahakuasaan Allah, Al-Asy'ari juga perlu mempertanyakan tentang keterlibatan Allah dalam pembuatan-pembuatan manusia yang penuh dosa. Dia melakukan yang sedemikian ini dengan menolak tindakan-tindakan intrinsik apa pun, yang baik atau pun yang buruk.

Sesuatu menjadi baik karena Allah memerintahkannya, buruk karena Allah melarangnya. Orang-orang yang beriman mempelajari apa yang baik dan buruk secara hati-hati dengan memperhatikan perintah Allah. Bukan dengan menggunakan akal untuk mengevaluasi kebaikan moral yang bersifat intrinsik dari suatu perbuatan tertentu.

Realitas-realitas yang bersifat paradoksal ini sangat berpengaruh terhadap pikiran-pikiran para Sufi. Mitos Iblis menjadi sebuah alat yang penting karena penggalian seluk-beluk kehidupan spiritual yang ada dalam realitas Kemahakuasaan Allah.

Penerimaan pengaruh Allah terhadap perbuatan-perbuatan manusia juga mengharuskan kita untuk menerima kenyataan, bahwa perbuatan-perbuatan Allah tidaklah tunduk terhadap pemahaman hukum-hukum manusia, kecuali jika Dia mengkehendakinya demikian.

Logika, konsistensi dan kejelasan semua dapat diabaikan oleh-Nya. Pengalaman keterlibatan Allah dalam hal-hal yang tidak diharapkan, yang tidak logis dan yang membingungkan inilah yang akan memperkuat kesadaran Sufi tentang apa yang telah dikenal dalam tradisi pengetahuan Islam sebagai makr Allah, kehendak-Nya.

Ketika Iblis tunduk pada jalan yang dia lakukan, Jibril dan Mikail mencucurkan air mata sedemikian lama. Allah Yang Maha Tinggi bertanya kepada mereka, "Ada apa dengan kamu berdua sehingga kamu meneteskan air mata?" Mereka menjawab secara serentak,"Wahai Tuhan kami, kami tidak akan bisa menghindar dari kehendak-Mu!"

Semua ini terserah Allah untuk memutuskan apakah sebuah perbuatan akan menjadi suatu petunjuk yang menunjukkan jalan untuk menuju kepada-Nya, atau apakah perbuatan yang sama akan menjadi sebuah penghalang yang merintangi jalan menuju kepada-Nya.

Kasus Nabi Isa adalah sebuah contoh yang baik, karena untuk beberapa orang dia merupakan sebuah petunjuk untuk ma'rifat, gnosis, dan untuk beberapa orang yang lainnya dia adalah sebuah dinding atau tabir yang menghalangi.

Semua yang datang ke dalam kehidupan, semua yang mencapai keadaan yang sebenarnya, terikat kepada kehendak Allah dalam suatu hubungan sebab akibat. (jss/bersambung)