Tragedi Meurah Pupok (1) : Putra Mahkota Pewaris Aceh

Senin, 12 November 2018

Mungkin tidak ada yang bisa mengerti ketika orang tua yang hanya memiliki seorang anak lelaki dan telah dipersiapkan sebagai putra mahkota pengganti dirinya ternyata harus dieksekusi mati.

Bukan oleh orang lain, tetapi olehnya sendiri. Itu demi penegakan hukum akibat kesalahan yang dibuat putranya sendiri. Dan ketika sudah meninggal, jenasahnya pun tidak diperkenankan untuk dimakamkan di kompleks istana.

Memang, sepertinya banyak peristiwa yang terjadi di Aceh, yang belum begitu banyak masyarakat mengetahuinya. Itu karena saking banyaknya peristiwa tragis itu.

Kisah-kisah itu bak gunung es, hanya puncaknya yang mencuat, tetapi di bawah permukaan air tidak pernah ada orang yang mengira. Itulah Aceh, yang lebih dikenal dengan Tanah Serambi Mekkah.

Salahsatu peristiwa besar dan merupakan kisah nyata itu adalah tentang Sri Sultan Iskandar Muda Mahkota Alam yang juga dijuluki oleh bangsa Portugis dengan sebutan Lion of Aceh (Singa Aceh). Ia pernah menjadi Penguasa Sumatera dan Semenanjung Tanah Malaka.

Di dalam kitab Bustanus Salatin karya ulama besar, Syeh Nuruddin Ar-Raniri menyebutkan, bahwa Sultan Iskandar Muda sangat giat mengembangkan agama Islam di seluruh wilayah Kesultanan Aceh.

Di setiap daerah diperintahkan mendirikan masjid sebagai tempat ibadah, dan balai pengajian serta Meunasah (Mushalla).

Dalam kitab itu disebutkan, sultan adalah seorang yang sangat sholeh dan taat beribadah. Ia selalu menganjurkan rakyatnya supaya memahami dan mengamalkan Islam secara kaffah.

Siang itu sambil menikmati minuman kesukaannya, kopi yang khusus dikirim dari Negeri Antara (Takengon), di ruangan Agung Balairung istana, sang raja santai mendengarkan kicau 4 ekor burung ‘Beurijuek Balei’ (cucak rawa) kesayangannya.

Sang sultan yang agung itu terus merenung, meski wilayah Sumatera dan Malaka sudah berada dalam genggamannya. Dia galau dan khawatir, namun kekuatiran dan kegalauan hatinya semakin hari semakin tinggi, sebab ada satu hal yang membuatnya berpikir serius.

Era keemasannya kurang lebih memasuki waktu 30 tahun. Sultan Iskandar Muda yang memegang tampuk pemerintahannya sebagai Khalifaturrasyidin telah berhasil menyempurnakan ‘’Qanunul Asyi Ahlussunah Wal Jamaah ratusan Hadist Rasulullah, Ijma’ Para Sahabat Rasulullah, dan Qiyas Ulama Ahlussunnah Wal Jamaah ‘’.

Kemudian dilengkapi dengan Qanun Putroe Phang suatu aturan yang mampu memberikan perlindungan kepada kaum wanita. Mungkin yang terakhir menarik kalau di Aceh, emansipasi wanita sudah ada jauh sebelum Indonesia lahir.

Perenungannya itu juga dilakukan oleh setiap raja yang memikirkan penerus tongkat estafet kepemimpinannya. Selain harus memiliki kecakapan dan mampu menjadi pemimpin sebagai pemegang tampuk pemerintahan kerajaan yang kuat dan tetap mempertahankan kekuasaannya.

Bahkan kalau memungkinkan bisa diperluas lagi wilayah kekuasaan dan sekaligus mampu menjaga kedaulatan wilayah Kerajaaan Aceh Darussalam serta seluruh daerah taklukan yang telah menjadi wilayah kekuasaannya.

Tetapi tidak boleh tunduk kepada kekuasaan asing, terutama sekali kepada bangsa Portugis dan Inggris yang ketika itu terus berupaya dengan berbagai cara melakukan provokasi di jazirah Selat Malaka. (Bersambung/Arie Abieta, Budayawan Aceh)