Boleh Ngupi, Maghrib Wajib Tutup Untuk Beribadah

Sabtu, 10 November 2018

Di Aceh, warung kopi bukan main banyaknya. Ada ratusan tempat, dan puluhan di antaranya buka 24 jam. Kopi itu berasal dari daerah penghasil kopi di Aceh. Ada yang datang dari Gayo, Takengon, Singkil, Pidie dan daerah lain, dengan jenis Arabica dan Robusta.

Warung kopi yang di Aceh disebut ‘warung kupi’ itu ramainya luar biasa. Tidak pandang waktu. Pagi, siang, sore, dan malam tempat kumpul itu adalah warung kopi. Diskusi atau omong apa saja selalu di warung kopi, untuk itu racikan kopi dan fasilitas warung menjadi taruhan.

Warung kopi yang selalu dipenuhi pengunjung pasti punya keistimewaan itu. Tanpa racikan yang nikmat dan fasilitas Wifi yang memadai hampir pasti bakal ditinggalkan pengunjung. Untuk itu di Aceh paling mudah untuk mencari warung kopi yang enak. Tandanya, jika warung itu selalu penuh pengunjung, maka itu sebagai jaminan warung itu memenuhi syarat nikmat dan fasilitas internet.

Akibat masyarakat Aceh sudah terbiasa minum kopi nikmat ini, maka mungkin pendatang dari luar kota yang datang ke Aceh kadang bingung. Restoran atau warung makan semuanya tidak menjual kopi. Kalau kita pesan minuman kopi selalu dijawab tegas pelayannya. “Tak ada kopi disini,” kata mereka.

Sebaliknya, jika kita masuk warung kopi, tidak bakalan mereka menjual nasi. Paling banter yang ada adalah makanan ringan, roti cane, dan mie Aceh. Mereka sadar, orang yang datang untuk makan nasi bukanlah mau ngopi. Juga yang datang ke warung kopi tidak untuk makan nasi.

Yang menarik, jika waktu salat maghrib tiba, tanpa ba bi bu, pintu-pintu warung yang terbuat dari harmonika besi itu bakal ditutup. Bill disodorkan untuk di-close. Dan tamu-tamu pun satu demi satu meninggalkan warung.

Kini sepi dan lengang menguasai kedai-kedai itu. Semuanya pergi untuk menunaikan ibadah. Dan nanti, sejam setelah maghrib, maka warung kembali buka, dan pengunjung meluber hingga halaman kedai. Inilah menariknya ‘ngupi di Aceh’. jss