Tragedi Setan (42) : Iblis Goda Pertapa Melalui Harta

Sabtu, 10 November 2018

Seorang Sufi tidak hanya diharuskan melatih dirinya membedakan jiwa baik dan jiwa buruk yang bersaing untuk saling setia. Dia juga harus mencapai motivasi sadar dan akibat-akibat jangka panjang dari dorongan-dorongan yang kelihatannya positif.

Jalan spiritual itu tersebar luas dengan perbuatan-perbuatan baik yang harus mengalami pengamatan dan evaluasi. Yang semua itu tergantung pada kriteria, apakah dorongan-dorongan itu merupakan respons baik terhadap kehendak Allah atau tidak. Selain disesuaikan dengan kekuatan dan kelemahan spiritual sendiri.

Apa yang secara obyektif kelihatannya merupakan perubahan baik, spiritualitas yang tinggi dapat menimbulkan kerusakan apabila dikerjakan oleh seseorang yang kurang pengalaman dan pemahaman. Dan juga tak ada jaminan, orang-orang yang sangat ahli sekalipun tidak akan berhadapan dengan situasi yang mendua, dimana mereka akan merasa lumpuh dan tidak berdaya untuk memilih di antara pilihan-pilihan positif yang mereka hadapi.

Namun seseorang harus membuat pilihan. Meski ada resiko, dan menerima akibat-akibatnya. Kesadaran terhadap keadaan yang senantiasa berada dekat dengan kerusakan spiritual inilah yang merupakan karakter dari disiplin spiritual.

Al-Makki menggambarkan hal ini dengan sebuah cerita tentang sorang pertapa besar. Ia didatangi orang-orang yang mengeluh, karena ada kelompok lain yang menyembah sebuah pohon, bukan menyembah Tuhan.

Mendengar itu, pertapa ini marah. Ia mengambil sebuah kapak dan berangkat untuk menebang pohon yang disembah itu. Iblis yang menyamar menjadi seorang syekh, orangtua yang dimuliakan, menghentikan perjalanannya itu. Ia mengucapkan salam untuknya dan menanyakan apa yang akan dilakukannya.

Sang pertapa menjelaskan, namun sang syekh tadi menjawab dengan pedas. "Apa urusanmu dengan semua itu? Engkau telah meninggalkan ibadahmu, perbaikan dirimu, dan mencurahkan kepada sesuatu yang benar-benar berbeda."

Sang pertapa menyatakan, ia akan memotong pohon yang disembah-sembah. Dan itu merupakan bagian dari ibadahnya.

Orangtua itu menolak mendengarkan. Mereka mulai bertengkar dan berkelahi. Dalam perkelahian itu sang pertapa dengan mudah mengalahkan Iblis sang pengacau, dan menduduki dadanya.

"Biarkan aku pergi sekarang, sehingga aku bisa mengatakannya kepadamu, " kata Iblis yang menyaru sebagai orang suci itu.

Sang pertapa pun mundur, dan Iblis itu bangkit. Saat itulah ia kembali merayu sang pertapa. Katanya, Allah tidak mengharuskan seorang pertapa memotong pohon, karena dia bukanlah seorang nabi.

Pekerjaan pertapa adalah melakukan ibadah, yang pada kenyataannya telah dihentikannya karena pohon konyol itu. Kata Iblis itu, jika Allah berkehendak mencegah orang-orang menyembah pohon itu, dia akan mengutus nabi-nabi kepada mereka.

Mendengar itu sang pertapa kembali marah. Ia menolak untuk menerima begitu saja pendapat itu. Akhirnya mereka kembali berkelahi lagi. Iblis untuk kedua kalinya menyerah. Dia memohon untuk dilepaskan.

Tapi benarkah godaan Iblis itu berhenti? Tidak !

Katanya, "Engkau adalah seorang pertapa, dan engkau tidak memiliki apa-apa. Engkau seharusnya bergantung kepada orang-orang untuk mendukungmu. Barangkali engkau akan lebih senang untuk memberikan keuntungan kepada saudaramu dan memberikan bantuan yang bermanfaat bagi para tetanggamu, untuk menjelaskan keberadaanmu, bahwa engkau tidak membutuhkan orang-orang."

Penjelasan ini menggoda pikiran pertapa itu. Ia menganggap itu merupakan ide yang baik. Iblis tahu pertapa itu sudah tergoda. Iblis yang bersosok orangtua itu meneruskan rayuannya. Ia berjanji akan meninggalkan uang dua dinar setiap malam untuk sang pertapa, agar uang itu bisa dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhannya sendiri dan kebutuhan keluarganya, dan masih ada sisa uang untuk bersedekah.

Penawaran Iblis itu akhirnya diterima. Sang pertapa merasa, tawaran itu menguntungkan bagi dirinya dan kepentingan Masyarakat Muslim dibandingkan hanya sekadar memotong sebuah pohon.

"Aku bukan seorang nabi. Allah tidak menyuruhku untuk memotong pohon itu. Tak ada dosa jika tetap membiarkan pohon itu disembah-sembah orang. Ini merupakan sesuatu yang aku rasa ingin melakukannya. Bahaya apa yang terjadi terhadap orang-orang yang menyekutukan Allah jika pohon ini tetap dibiarkan ada? Tapi usulan orangtua itu jauh lebih bermanfaat bagi masyarakat pada umumnya." (jss/bersambung)