Tragedi Setan (32) : Untuk Melawan Setan, Tutup Lima Indera

Ahad, 28 Oktober 2018

Proses psikologis yang sangat berguna itu pernah disusun Al-Ghazali. Ia mencatat batas-batas yang luas dari proses itu. Menurut intelektual muslim ini, yang pertama, ada rasa khawatir yang timbul dari sumber baik dan ada sumber buruknya yang menyebabkan mayl, yaitu kecenderungan terhadap suatu tindakan tertentu.

Kecenderungan ini harus ditegaskan dengan al-I'tiqad, itikad, atau keyakinan untuk bertindak, yang memuncak dalam pembentukan tujuan atau rencana tindakan yang nyata, yaitu al-hamm.

Pada tempat lain Al-Ghazali juga menggambarkan proses itu dalam pola yang sama, namun menggunakan terminologi yang berbeda. Pandangan atau dorongan, khawatir, akan membentuk hasrat, raghba, dalam gerakan. Hasrat atau keinginan ini selanjutnya membentuk perhatian dan perubahan yang kuat, 'azm, yang mengendalikan arah kehendak, niyah, ke arah gerakan anggota-anggota tubuh atau a'da'.

Para syekh Sufi merasakan, diskusi psikologis abstrak yang berkisar di seputar khawatir ini dapat membingungkan rencana sebelumnya untuk memfokuskan pada permasalahan-permasalahan personal yang memunculkan pokok permasalahan yang mula-mula.

Para syekh ini telah menentukan, bahwa si murid harus tumbuh untuk memahami sumber dan makna dari berbagai dorongan dan gerakan yang dialami secara pribadi dalam dirinya sendiri. Untuk menghindari kegagalan, para guru sufi berusaha menghubungkan istilah abstrak dan peranannya, menjadi konsep-konsep yang tradisional dan lebih konkret. Yang paling berhasil barangkali adalah penyamaan khawatir negatif dengan waswasa dalam Al-Qur'an, yaitu godaan-godaan yang dibisikkan oleh Iblis.

Rasulullah SAW telah menyebutkan makna kata waswasa. Kata ini mengandung arti anggapan (khawatir) yang datang ke dalam pikiran para pengembara yang sedang berjuang. Dan setiap anggapan memiliki suatu sebab yang memerlukan sebuah nama. Nama penyebab dari anggapan ini adalah setan, dan tidak dapat dipahamkan bahwa seorang manusia dapat terpisah darinya.

Sang murid tidak hanya mampu mengenali dan mengidentifikasi berbagai kekuatan yang diketahui menciptakan peperangan di dalam hati. Tetapi dia juga harus mampu mengembangkan keterampilan untuk memunculkan berbagai kekuatan tadi, karena kekuatan-kekuatan itu pada dasarnya bersaing untuk mencapai superioritas di dalam rohnya sendiri. Tak ada tugas berarti yang mempertimbangkan kebingungan antara keinginan, perasaan dan nasihat-nasihat yang dihadapi setiap orang di dalam dirinya sendiri.

Namun, tidak boleh tidak, manusia beriman harus belajar membedakan antara kunjungan malaikat dan kunjungan setan, musuh yang nyata. Juga antara nasehat-nasehat dari roh dan bisikan-bisikan jiwa yang rendah. Serta antara ilmu keyakinan dan sekedar rumusan dari akal sehat.

Al-Makki menawarkan beberapa petunjuk umum: nasihat-nasihat yang terjadi untuk mendesak seseorang agar berbuat kebaikan- semua ini adalah hal yang patut bagi murid. Sesuatu yang membuat kita termenung dan bingung, terutama yang berkenaan dengan peristiwa-peristiwa masa lalu dan pertimbangan-pertimbangan masa depan. Nasehat-nasehat seperti itu harus diakui sebagai waswasa setan, yag hanya ditujukan untuk menghadapi serangan Iblis yang lebih halus.

Misalnya, dengan bersusah payah berangan-angan pada pertanyaan di mana, kapan atau mengapa keadaan-keadaan spiritual yang menguntungkan. Sebab dalam prosesnya, keadaan-keadaan itu bisa menghilang. Allah akan memberikan karunia sebagai balasan bagi ibadah untuk mendekatkan diri kepada-Nya dan hadiah atas permusuhan terhadap Iblis.

Al-Ghazali menentukan suatu tujuan yang lebih langsung untuk mengatasi waswasa yang berlebihan. Caranya, halangi pintu-pintu dorongan, khawatir, yang masuk melalui lima indera. Dari sanalah keinginan-keinginan dan kesenangan-kesenangan duniawi menemukan jalannya ke dalam hati. (bersambung)