Kolom Djoko Su'ud Sukahar : Sawit dan Terbunuhnya Khashoggi

Senin, 22 Oktober 2018

Judul tulisan ini terkesan mengada-ada. Tapi itulah kenyataannya. Khashoggi tewas dibunuh, harga minyak sawit mentah ikut turun. Perang dagang antara Amerika Serikat dan China yang tidak ada kaitannya dengan sawit, harga CPO melorot, plus pasar gonjang-ganjing yang recoverynya belum rampung hingga akhir tahun ini.

Kelapa sawit ini memang seperti sepatu kaca. Dia harus dipakai orang yang tepat, dirawat dengan benar, dan diberi ketentraman agar auranya moncer serta memberikan banyak keuntungan.

Namun disayangkan, ‘dunia’ masih antipati terhadap sawit. Ada persaingan dagang di sana, ada gengsi yang sedang dipertaruhkan, bertahan status quo sebagai raja minyak nabati yang ratusan tahun dikuasai, dan implikasinya adalah, sawit harus mati supaya tidak lagi ada negator yang harus dinegasikan.

Jika sudah seperti itu realitasnya, maka tidak ada riset yang benar dan baik, bermanfaat atau tidak bagi umat manusia, karena landasan untuk melakukan itu semua adalah niatan yang tidak baik.

Fritjof Capra benar dalam ‘the Turning Point’, bahwa sesuatu yang hilang itu tidak hilang, tapi berpindah ruang. Jika sikap antipati terhadap sawit ini terus berkembang, maka bukan kebenaran dan jawaban terhadap masa depan bumi dan manusia yang mendapatkan solusi, tetapi justru bunuhdiri massal.

Sebab tantangan jaman ke depan adalah efektifitas dan efisiensi dalam segala soal. Ditunjang digitalisasi yang mempercepat informasi dan arus transaksi, maka dehumanisasi yang ditakutkan Albert Camus itu sudah jauh dari outdate. Sikap manusia sudah melampaui watak binatang.

Kelapa sawit adalah tanaman masa depan. Kelapa sawit butuh ketenangan politik. Situasi mendukung membuatnya kian berkembang. Sebaliknya jika kondisi politik global memanas, sawit pun ikut terombang-ambing dalam putaran masalah.

Untuk sementara ini, Uni Eropa (UE) dan Amerika Serikat adalah ‘musuh’ pertama. Negara-negara itu dilatar-belakangi persaingan dagang, merembet menjadi penolakan terhadap sawit yang semakin mendominasi pasar dunia.

Sebagai produsen minyak kedelai, bunga matahari, rapseed dan ginola, mereka merasa sawit adalah ancaman. Kendati mereka sadar, sebagai tanaman musiman taklah bisa dijual murah seperti sawit. Ini yang lambat tapi pasti akan menurunkan kebutuhan minyak nabati produk UE dan Amerika Serikat itu.

Maka jika UE sepakat untuk menunda dilarang masuknya sawit ke UE sampai tahun 2030, itu hanyalah siasat saja. Mereka enggan untuk terlalu melanggar aturan WTO, sembari menebar fitnah, bahwa sawit itu tanaman yang jelek rupa bagi dunia, dan jika dibiarkan berkembang, maka ramalan FE Schumacher pakar lingkungan itu benar adanya. Bakal terjadi kiamat dini.

Selain itu ada kaca buram masa depan yang membuat UE kagok untuk tidak mempercayai. Manusia di bumi akan mencapai jumlah 9,3 miliar di tahun 2050 nanti. Ada tambahan 2 miliar manusia baru yang bakal ikut berdesakan di bumi yang semakin sempit ini.

Terus mereka harus tinggal di mana? Mereka makan apa? Dan tanaman seperti apa yang mampu memasok kebutuhan perut mereka?

Sekarang saja, daging dan pangan sudah tidak alami lagi. Daging adalah hasil kloning, dan pangan hasil rekayasa genetika. Itu karena yang alami sudah tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan manusia yang semakin membengkak.

Kadang kalau sedang dialog dengan teman-teman LSM, karena tidak mau berdebat, maka saya selalu bilang pada mereka, bahwa aku sebenarnya rindu dengan desaku yang hijau dan rindang puluhan tahun lalu. Tapi itu puluhan tahun lalu yang kini sudah menjadi masalalu.

Tuntutan jaman ke depan memang telah memaksa kita melupakan masa silam. Masa itu hanya menjadi kenangan, yang kadang kalau kita ceritakan ke anak cucu, mereka pun tidak percaya bila itu kenyataan, karena nyatanya memang sudah tidak ada.

Sawit adalah jawaban ke depan. Untuk mengambil posisioning, sawit memang masih harus terus berjuang. Besarnya peluang membuatnya jadi incaran untuk dibendung. Dan luasnya penggunaan menjadikan sawit rentan terhadap goyangan pasar.

Lihat perang dagang antara China dengan Amerika Serikat. Perang yang berbalas ancaman membebani pajak masing-masing negara itu tidak punya kaitan dengan Indonesia (sawit). Malah ini harusnya menjadi peluang. Tapi apa yang terjadi? Harga minyak sawit justru merosot.

Belakang hari akhirnya diketahui, bahwa komoditas Amerika Serikat (kedelai) juga kebingungan mencari pasar. Kedelai itu kemudian luber ke Pakistan dengan harga 40%, yang meningkatkan impor negara itu hingga 125%.

Ada yang lucu lagi, yaitu terbunuhnya Khashoggi di Turki. Wartawan Arab Saudi yang tinggal di Amerika Serikat itu tewas, ternyata juga membuat minyak sawit di perdagangan dunia turun 1%. Terus apa kaitannya?

Ternyata sanksi Amerika Serikat yang akan diberikan terhadap Saudi Arabia menyulut harga minyak mentah terkoreksi. Ini yang kemudian ikut mengoreksi harga minyak sawit mentah. Kok? Ya, sebab minyak sawit juga dipakai sebagai bahan biodiesel.

Kerentanan sawit terhadap gejolak politik itu memang masalah. Namun jika kita berpandangan positif, itu menunjukkan betapa besar potensi minyak sawit itu ke depan. Apalagi pasar masih sangat luas terbuka lebar. Semangat ! Djoko Su’ud Sukahar