Lewat Gerabah Kulit Telur, Syaminar Bersinar

Kamis, 11 Oktober 2018

Bagi kebanyakan orang, kulit telur hanyalah sampah. Tak sedikitpun punya nilai. Tapi di tangan Dra Syamsinar, sesuatu yang biasanya dipandang sebelah mata itu menjadi sangat bernilai. Bukan saja bagi dirinya, tetapi juga bagi orang lain dalam lingkungannya. Kulit telur itu menjadi indah dipandang ketika ditempel di permukaan gerabah.

Kreasi yang dihasilkan mantan pegawai Dinas Pendidikan Jakarta ini tidak sekadar untuk hobi, tetapi untuk meraup pundi-pundi rupiah. Gerabah kulit telur hasil karya Syamsinar sudah melanglangbuana ke mancanegara. Syamsinar paham betul bagaimana sebuah gerabah yang tadinya biasa-biasa saja menjadi sesuatu yang luar biasa, setelah dihias dengan media kulit telur. Dia mengakui gerabah kulit telur bukan hasil inovasinya. Perempuan paruh baya yang masih tampak energik itu mengisahkan, dia pernah berguru kepada ahli gerabah kulit telur.

“Saya pertama kali melihatnya di televisi tahun 2007. Saat itu, ada seorang yang sudah handal menghias gerabah dengan menggunakan kulit telur. Namanya Pak Dwi. Dia tinggal di Jakarta Timur. Serta merta saya tertarik. Sejak saat itu saya bertekad ingin belajar kepadanya. Tak gampang mencari keberadaan dia. Tapi karena diiringi dengan tekad ingin bisa membuat gerabah kulit telur, saya terus mencarinya,” kenang Syamsinar.

Dan upayanya membuahkan hasil. Dia akhirnya menemukan alamat yang selama ini dicari-carinya. Kepada Pak Dwi, dia mengaku terus terang teramat tertarik dengan seni gerabah kulit telur dan ingin mengetahui cara pembuatannya, “Saya katakan kepada Pak Dwi, bagaimanapun saya harus bisa membuatnya. Saya ingin mengembangkan gerabah kulit telur yang saya nilai unik dan menarik,” tutur Syamsinar.

Gayung pun bersambut. Pak Dwi menganggukkan kepala tanda setuju. Maka pada tahun yang sama, Syamsinar dengan antusias mengikuti arahan Pak Dwi dan sejumlah anak buahnya. Untuk keperluan itu, dia mengeluarkan kocek sebesar Rp 300 ribu. Selama tiga bulan pikiran Syamsinar dicurahkan untuk mencomot ilmu cara pembuatan gerabah kulit telur. Tahap demi tahap pembuatan dia simak, mulai dari mencuci kulit telur, menempelnya ke permukaan gerabah, hingga gerabah tersebut siap dipasarkan.

Tiga bulan berlalu. Syamsinar merasa yakin telah mengantongi ilmu yang ditransfer dari Pak Dwi. Tak memerlukan waktu lama, dia mulai mempraktikkannya di rumah. Dia lebih intensif lagi membuat gerabah kulit telur sejak 2009. Hingga kini gerabah kulit telur hasil karya perdananya masih tersimpan. Dia tak hendak melegonya. Gerabah karya perdananya itu dijadikannya sebagai media untuk selalu mengingat, bahwa dari titik itulah semuanya berawal, “Sekaligus untuk bahan motivasi saya,” ujar Syamsinar.

Syamsinar sadar bahwa gerabah-gerabah kulit telur itu bukan untuk dipajang di rumahnya, tetapi untuk dijadikan sebagai sumber uang. Maka, benaknya berputar sedemikian rupa bagaimana memasarkannya. Beruntung, dia banyak memiliki relasi, termasuk orang-orang yang bekerja di Dinas Perdagangan Jakarta Barat.

“Saya ditawari mengikuti sebuah pameran pada sebuah event yang digelar Dinas Perdagangan. Tentu saja kesempatan itui tak boleh disia-siakan. Pameran merupakan ajang promosi yang paling efektif dan jitu. Saya melibatkan anak-anak di sekitar rumah untuk belajar membuat gerabah kulit telur. Saat gerabah-gerabah hasil karya saya dipamerkan, nyatanya banyak yang tertarik. Pengunjung bukan saja sekadar melihat dan meraba, tetapi juga membelinya. Alhamdulillah,” katanya. Gerabah kulit telur kreasi Syamsinar berupa vas bunga, kaligrafi, dan karakter berbagai binatang.

Dipasok dari Penjual Nasi Goreng

Waktu terus merambat. Dan Syamsinar terus meleburkan diri bersama gerabah kulit telur. Sudah tak terhitung berapa buah gerabah yang dihasilkan dan dijualnya. Untuk memenuhi stok atas permintaan yang terus membludak, saat ini Syamsinar mempekerjakan 30 orang warga. Mereka terus berkreasi di workshop milik Syamsinar di Jalan Kota Bambu Selatan V no.68 B Kecamatan Palmerah, Jakarta Barat.

Untuk menempel kulit telur, setiap pekerja memperoleh Rp 15 ribu-Rp 100 ribu untuk setiap gerabah, “Upah yang mereka dapatkan untuk satu gerabah bervariasi, tergantung ukuran gerabah dan tingkat kesulitan dalam pengerjaannya,” terang Syamsinar. Setelah siap dijual, gerabah-gerabah tersebut dipatok dengan harga Rp 100 rbu – Rp 1,5 juta per buah, juga tergantung pada ukuran dan tingkat kesulitan pembuatannya.

Lagi-lagi Syamsinar sedang dimanja Dewi Fortuna. Setelah gerabah kulit telur hasil kreasinya berkibar di ranah lokal, barang bernilai seni tersebut mulai merambah ke mancanegara. Wajar karena Syamsinar sering mengikuti pameran-pameran, “Kebetulan saya punya chanel importir, sehingga tak terlalu kesulitan memasarkannya ke luar negeri. Saya sangat bersyukur,” katanya.

Karena dinilai mampu menggeliatkan perekonomian warga dengan gerabah kulit telur, pada 2013 dia dilirik Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, khususnya Direktorat Bindikmas. Dia memperoleh dana anggaran program Pengembangan PKBM Tematik, “Dana bantuan tersebut saya belikan oven untuk memanaskan keramik seharga Rp 18 juta,” ujarnya. Tentu saja dana bantuan tersebut sangat membantu lebih menggairahkan usaha yang selama ini dilakoninya.

Dituturkan Syamsinar, sebelumnya dia mendatangkan gerabah dari Plered, Kabupaten Purwakarta Jawa Barat. Gerabah-gerabah tersebut dibelinya dalam keadaan polos tanpa motif. Oleh Syamsinar-lah gerabah ‘didandani’ dengan menempelkan kulit telur pada bagian permukaan yang dikehendaki. Setelah memiliki oven, Syamsinar tak lagi memasoknya dari Plered. Dia memproduksi sendiri. Dengan demikian, tentu saja dia lebih bebas berkreasi, selain lebih menguntungkan secara ekonomis.

Lantas, dari mana Syamsinar memasok kulit telur? Dia memperolehnya dari para pedagang nasi goreng. Harganya Rp 5.000/Kilogram. Setelah dikumpulkan, kulit telur dicuci hingga bersih. Selanjutnya, kulit tipis yang ada pada bagian dalam dibuang dengan cara dikelupas. Pengerjaannya butuh waktu. Untuk itu, Syamsinar mempekerjakan warga sekitar untuk mengelupas kulit telur tersebut.

“Saya mempekerjakan orang-orang tuna netra. Mereka mendapat upah mengelupas sebesar Rp 5.000 untuk satu Kilogram kulit telur,” jelasnya. Selanjutnya, kulit telur yang telah dipecah hingga sebesar pentul korek api tersebut ditempel dengan menggunakan lem khusus ke bagian permukaan gerabah yang sebelumnya telah dipola berupa gambar yang dikehendaki.

Supaya menempel kuat, kulit telur dipoles semen putih, kemudian dicat dengan menggunakan politur, terus digosok dengan menggunakan ampelas nomor 100. Selesai? Ternyata belum. Seusai diampelas, permukaan kulit telur yang telah menempel di gerabah dipoles dengan vernis atau cat pylox. Barulah gerabah kulit telur bisa dipandang nikmat oleh mata siapa saja yang melihatnya.

Gerabah kulit telur kreasi Syamsinar terus bersinar. Dia terus berkreasi utuk mengangkat harkat ekonomi rakyat. Dan dunia pun mengakuinya.Tatang Budimansyah