Ingin Melihat Burung Liar, Gabung Saja ke MEL

Rabu, 03 Oktober 2018

Malang merupakan Kota Pendidikan yang melahirkan banyak akademisi handal. Dari mereka ada yang membentuk komunitas edukatif dan peduli pada lingkungan.

Salah satu komunitas yang edukatif, unik, dan turut menjaga lingkungan hidup itu adalah Malang Eyes Lapwing (MEL). Komunitas yang dimotori oleh para mahasiswa dari jurusan Biologi Universitas Negeri Malang (UM) ini berdiri sejak tahun 2009.

MEL didirikan oleh Heru Cahyono, yang sekarang menjadi alumnus Biologi UM. Mulanya Heru dan teman-temannya memiliki kegemaran untuk mengamati burung (bird watching). Dari sinilah Heru mulai memperkenalkan kegiatan pengamatan burung. Niat Heru ini mendapat respons positif dari rekan-rekannya.

Terbukti keanggotaan MEL semakin lama semakin bertambah hingga sekarang. Belum lagi, MEL merupakan komunitas yang resmi di bawah Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Biologi UM.

Meskipun sebagian besar anggotanya adalah mahasiswa dari jurusan Biologi, namun tidak menutup kemungkinan jurusan lain juga ikut bergabung di dalamnya.

Riri salah satu anggota MEL mengatakan, bahwa konsentrasi MEL adalah mengamati dan meneliti burung. Mahasiswi Biologi angkatan 2012 ini menerangkan, bahwa MEL sering menyelenggarakan kegiatan besar serta berpartisipasi dalam berbagai kegiatan yang berkaitan dengan lingkungan.

“Kegiatan kami yang paling besar adalah Save Our Predator, kemudian kami juga aktif bergabung dalam kepanitiaan Perkumpulan Pengamat Burung Indonesia,” terangnya.

Selain kegiatan, MEL juga tidak lepas dari torehan prestasi baik individu anggotanya maupun kelompok. “Kami pernah meraih juara I di Bedugul Bali Bird Race dan Lomba Pengamatan Burung di Cangar,” terangnya.

Kegiatan peduli lingkungan yang pernah diikuti oleh MEL adalah Pelepasan Elang Bondol di Pulau Sempu, Malang Selatan. Selain itu MEL juga pernah melakukan pelepasan Elang Jawa di Gunung Ijen.

Bersama dengan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA), MEL juga sering menyita burung-burung yang dilarang dipelihara untuk dilepas kembali ke alam. Burung yang disita tidak langsung dilepaskan ke alam. Perlu habituasi selama satu bulan sebagai bentuk penyesuaian dengan lingkungan baru.

“Setelah mengalami proses Habituasi, kamipun juga tetap melakukan pengamatan selama satu bulan di alam untuk memastikan burung tersebut benar-benar sudah dapat hidup mandiri di alamnya,” tegas Riri. Ardi Wina Saputra