Melihat Mendo, Merayakan Kematian di Tanah Toraja

Rabu, 26 September 2018

Warna merah memancar ke segala arah. Kerumunan yang sedari tadi menunggu acara puncak menahan nafas menyaksikan darah segar muncrat dari tubuh korban yang tergeletak tak berdaya. Aroma anyir pun menebar ke segala penjuru. Tubuh mereka yang dikorbankan menggeliat sesaat akibat tikaman pisau.

Seorang algojo yang telah ditunjuk oleh suku mengayunkan pisaunya sekali lagi. Darah pun semakin memancar. Pemandangan sarat pertumpahan darah ini terjadi di sebuah upacara pemakaman di Tana Toraja.

Ritual pemenggalan hewan ternak ini adalah upacara sakral yang prestisius. Sakral, karena tujuannya adalah melapangkan jalan bagi arwah para pendahulu mereka menuju puya (alam lain setelah kematian). Sedangkan prestisius karena upacara ini menelan biaya puluhan, ratusan juta, bahkan miliaran rupiah.

Korban dalam upacara ini memang berupa sapi. Namun bukan sembarang sapi, sebab upacara mensyaratkan sapi-sapi pilihan. Misalnya seekor sapi berwarna hitam-putih dengan kualitas unggul berharga hingga 15 juta rupiah. Padahal, dalam upacara ini membutuhkan beberapa ekor sapi.

Bisa juga mereka mengorbankan babi, namun kehadiran sapi adalah wajib hukumnya. Tentu saja upacara ini meninggalkan kesulitan keuangan yang cukup parah bagi keluarga yang ditinggalkan. Walaupun demikian, mereka lebih mengutamakan kebahagiaan yang lebih abadi.

Upacara yang terkesan berlebihan ini dikenal dengan sebutan Mendo. Mendo terbuka bagi siapa saja yang ingin menyaksikannya. Pada pintu masuk, pengunjung akan mendapat sambutan megah. Sebuah rumah-rumahan dari bambu sengaja ditegakkan untuk keperluan upacara.juga disambut dengan sebuah peti mayat. Pada kesempatan tertentu, bahkan peti mati berisi mayat yang mati tujuh tahun yang lalu. Mendo baru diselenggarakan kapan pun jika keluarga yang ditinggalkan mampu membiayainya. Setiap pengunjung mendapat pelayanan yang memuaskan, dijamu kopi serta makanan kecil khas Toraja.

Merayakan ‘Kematian’

Di belahan bumi manapun, bisa jadi hanya Tana Toraja (Tator) yang mampu mengemas kematian menjadi ajang bergembira ria. Upacara kematian yang kelabu dan sakral berganti wajah menjadi keriangan massal. Dalam konsep kepercayaan mereka, upacara ini justru akan melapangkan jalan para arwah menuju kehidupan baru yang lebih baik.

Mendo dilaksanakan selama lima hari penuh. Pada hari pertama, peti mati yang diletakkan di tempat khusus itu diarak keliling kampung. Mereka meyakini, para arwah pun ikut berkeliling menyaksikan riuh rendah penduduk setempat yang menyambutnya.

Para pria berkumpul di tengah tanah lapang, membentuk lingkaran dan melantunkan mantra serta pujian kepada dewa. Acara khusyu’ ini diselingi dengan tarian dan doa-doa yang intinya mengucapkan selamat berpisah kepada para arwah.

Dalam lantunan ini mereka seolah juga menyampaikan rasa dukacita yang mendalam kepada para pengunjung.

Setelah acara mantra dan doa usai, tibalah saat berpesta. Beberapa orang tampak menggiring beberapa ekor sapi ke tengah arena. Sapi-sapi pilihan ini tampak gagah. Sementara beberapa babi diikatkan pada sebatang bambu yang dipanggul dua orang pria.

Di tengah arena mereka diikat pada sebuah pohon atau tiang sebelum akhirnya leher mereka dipenggal. Para pengunjung memang menunggu puncak acara, yakni pancaran darah yang membasahi tanah.

Sementara para sapi menemui ajalnya, beberapa wanita pemain drum bambu memainkan irama yang meriah. Upacara pun menjelma menjadi festival. Irama drum bambu yang khas memberi warna ceria sehingga tak nampak kesan, bahwa mereka sedang melaksanakan upacara kematian. Lima hari, perayaan ini terus berlangsung. Mereka bahkan mengundang tamu istimewa yang diberi tempat khusus.

Pemakaman khas Tana Toraja ini memang unik karena memandang kematian sebagai awal menuju dunia baru yang layak untuk dirayakan. Di tempat lain bergulir keyakinan, bahwa ada kelahiran maka ada pula kematian. Namun di Toraja hanya ada kehidupan. iz/jss