Serat Suluk Gatolotjo (15) : Kalung Yoni Dipakai Sebagai Sarana Sakti

Ahad, 16 September 2018

Sedang ‘sakralitas vagina’ untuk kepentingan mistik ketiga adalah vagina itu sendiri. Untuk mendapatkan ‘benda’ itu biasanya dilakukan dengan membongkar kuburan gadis yang sudah meninggal.

Gadis dengan hari kelahiran tertentu dan meninggal di hari-hari tertentu itu digali kuburnya. Di liang kubur itu bagian intimnya disayat untuk diambil dan dijadikan jimat.

‘Benda’ itu dikeringkan dan dibungkus kain kafan. Ada yang memakainya untuk dijadikan kalung (dibungkus kecil), ada yang dimasukkan sebagai bagian dalam sabuk, dan ada pula yang ditempatkan dalam dompet.

Dengan ritus tertentu pengamalnya yakin benda itu membuatnya sakti mandraguna. Tidak mempan dibacok dan memiliki aji panglimunan, bisa menghilang.

‘Kasus kalung vagina’ ini mengingatkan pada Sumanto jagal manusia dari Jawa Tengah. Dia mengiris kemaluan neneknya yang meninggal. ‘Benda’ itu disebut sebagai jimat, kalung keberuntungan. Namun Sumanto nampaknya berbohong. Sebab bukan seperti itu fungsi vagina dalam ritus mistik.

Keyakinan mistik dengan uborampe seperti itu memang kian mengecil. Itu karena semakin jarang yang tahu dan semakin jarang yang percaya untuk mengamalkan. Namun dalam kaidah mistik, syarat-syarat ini baku. Untuk itu ‘mistik seks’ Kolor Ijo yang menggemparkan Jawa Barat akhirnya terkuak, bahwa Kolor Ijo itu adalah kebohongan. Sebab perempuan yang disebut jadi korbannya heterogen. Ada ibu-ibu rumahtangga juga gadis remaja.

Kembali pada Gatolotjo, paham seperti itulah yang berusaha diwadagkan, ‘dimanusiakan’. Kisahnya mirip dongeng Pinokio yang berasal dari boneka kayu yang hidup karena ‘dihidupkan’. Gatolotjo yang ‘penis’ itu dihadirkan dengan pola yang hampir sama. Dilukiskan penulisnya secara realis bentuk mulut, kepala, tubuh, kulit, juga ‘wataknya’, sehingga kalau disimak secara seksama sangat gamblang dikenali, bahwa Gatolotjo itu identifikasi dari kemaluan laki-laki.

Namun kesan itu jangan serta-merta memvonis serat ini tidak layak baca. Sebab di balik ‘sinisme yang tidak berketuhanan’ itu didalamnya terdapat pesan ‘berkeTuhanan’ yang amat dalam. Betapa indahnya dialog antara Gatolotjo dengan Kiai Hasan Besari, kendati disampaikan dengan arogan.

Dan bagi mereka yang berusaha untuk selalu berbuat baik, ada satu apologia yang bisa dijadikan pembenar bagi serat ini. Suluk dalam khasanah tasawuf dikenal sebagai jalan untuk memasuki wilayah tarekat. Kata itu berasal dari bahasa Arab, shalaka al thariqa.

Dari teks itu, jika serat ini dipandang sebagai awal perjalanan menyusuri jalan panjang dunia tasawuf, maka memberi ruang terbukanya dialog. Bisa disebut ini sebagai proses pencarian Tuhan dimulai dengan kesombongan sebelum akhirnya luruh dalam keimanan.

Jika diikuti cermat, kandungan serat ini bermanfaat, terutama dari perjalanan batin sang tokoh. Sikapnya yang lugas dan blak-blakan dalam mengungkap pencarian kebenaran sejati menumbuhkan semangat menemukan saripati hidup.

Di tengah ‘kotak-kotak’ yang terkoyak dogma dan logika faksi, siapa tahu ada yang menemukan hikmah melalui ‘jalan’ ini. Kebenaran hakiki di relung hati terdalam. Kebenaran di jalan Allah. (Bersambung/Djoko Su’ud Sukahar)