'Kitab Seks Jawa' Centhini Ini Ditulis Akhir Suro

Jumat, 14 September 2018

Ada sebuah kitab yang tak boleh dilupakan ketika orang berbicara soal pustaka, sastra, atau kebudayaan Jawa pada umumnya, yaitu Serat Centhini atau Suluk Tambangraras. Sebagai karya tulis, karya sastra, Centhini sangat monumental. Kitan ini mulai ditulis pada tahun 1814 dalam bentuk syair (tembang macapat).

Centhini adalah karya besar. Baik dilihat secara fisik (karena panjangnya) maupun jika ditilik dari kandungannya, yang meliputi segala aspek kehidupan orang Jawa. Karenanya, orang juga sering menjadikan sumber penulisan itu dari Yayasan Centhini Yogyakarta yang sudah melakukan upaya dengan menyalin Centhini dari huruf Jawa ke dalam huruf Latin. Bahasanya tetap seperti aslinya, bahasa Jawa ‘lama’ yang sudah sulit dipahami oleh generasi sekarang. Untuk memudahkan, maka kitab ini lebih menarik diprosakan.

Adalah Carik Sutrasna. Dia pujangga di Kraton Surakarta. Hari itu dia berdebar-debar hatinya ketika harus menghadap Pangeran Adipati Anom, putra Pakubuwono IV.

Dia sadar ini pasti ada sesuatu yang sangat istimewa, kenapa Carik Sutrasna harus menghadap di luar pertemuan resmi. Batin Carik Sutrasna terombang-ambing antara harapan memperoleh anugerah dengan kecemasan jika dia harus mendapatkan hukuman. Kecemasan itulah yang lebih menguasai batinnya.

Carik Sutrasna telah berusaha mawas diri. Adakah dia telah melakukan kesalahan sehingga Pangeran Adipati Anom memanggilnya? Tapi makin dipikir tidak ketemu-ketemu juga. Maka dia berusaha tenang untuk mengurangi kecemasannya.

Carik Sutrasna menghadap Pangeran Adipati Anom dengan perasaan was-was berlebihan. Wajahnya menunduk pucat. Ia duduk bersila. Tangannya ngapurancang. Sikap tubuh demikian telah menjadi baku. Dan wajib hukumnya bagi para bawahan bila berada di hadapan atasannya.

Lebih-lebih di hadapan Sang Raja. Sedemikian gugupnya Carik Sutrasna kala itu, sehingga pertanyaan basa-basi Pangeran Adipati tentang bagaimana kabar keselamatannya masih juga dijawabnya dengan terbata-bata.

Tetapi sejenak kemudian, Carik Sutrasna seperti orang terjebak dalam kegelapan, yang tiba-tiba menemukan seberkas cahaya. Begitu menyadari bahwa tak sedikit pun nada kemarahan tersirat dalam ucapan-ucapan Pangeran Adipati Anom yang terkenal sakti itu.

"Tulislah sebuah kitab. Bukan sekadar dongeng. Ciptakanlah dalam bentuk tembang agar orang senang membacanya. Agar orang suka mendendangkannya. Bukan sekadar dongeng kosong. Tapi ciptakanlah kitab itu, yang di dalamnya terdapat segala hal yang dapat dipetik sebagai pelajaran bagi orang Jawa. “

“Berceritalah untuk menuntun orang Jawa. Tuntunlah orang Jawa dengan bercerita. Dengan melantunkan tembang-tembang yang tak sekadar merdu. Tak sekadar memikat. Melainkan benar-benar bermanfaat, agar siapa pun kelak akan dapat memperoleh pelajaran berharga dari kitab itu."

"Oh. Ampunilah hamba Gusti Pangeran. Menulis, mengarang, memang adalah pekerjaan hamba sehari-hari. Tetapi untuk menciptakan karya yang sebesar itu, oh, Gusti Pangeran, hukuman apa yang mesti hamba terima jika hamba tak sanggup melaksanakannya?"

"Jangan terlalu khawatir. Ini memang usaha besar. Maka waktu yang kuberikan pun cukup longgar. Dan pandanglah, siapa saja yang sekiranya dapat membantumu melaksanakan tugas itu? Tentu kau tak akan bekerja sendirian."

Maka, pada hari Sabtu-Pahing, tanggal 26 Sura (Muharam) 1742 (Saka), mulailah Carik Sutrasna yang juga memiliki nama (lengkap dengan gelarnya) Ki Ngabehi Ranggasutrasna melaksanakan tugas besar itu. Carik Sutrasna akhirnya memang tidak bekerja sendirian. Ia dibantu oleh para pujangga lain yang tidak hanya mumpuni dalam bidang kesusasteraan, tapi juga hebat olah pikir dan olah rasa. Khususnya menyangkut hidup dan kehidupan orang Jawa.

Para jamhur yang membantu Ki Ngabehi Ranggasutrasna itu adalah: (1) Raden Ngabehi Yasadipura II (Raden Tumenggung Sastranagara), Abdi Dalem Bupati Pujangga Kadipaten. (2) Raden Ngabehi Sastradipura, Abdi Dalem Kliwon Carik Kadipaten, yang setelah menunaikan ibadah haji lantas berganti nama menjadi Kiai Haji Muhammad Ilhar, yang dibantu lagi oleh: Pangeran Jungut Mandurareja (Klaten), Kiai Kasan Besari --ulama besar di Gebangtinatar, Ponorogo, menantu Pakubuwana IV-- dan Kiai Mohamad Minhad, ulama besar di Surakarta.

Yang menjadi pokok cerita adalah kisah (perjalanan) Jayengresmi, yang juga dikenal dengan nama Seh Amongraga, putra Kanjeng Sunan Giri. Beliau adalah seorang aulia, termasuk manusia pilih tanding pada zamannya.

Kisah yang ditulis dalam bentuk syair tembang itu diawali dengan menampilkan latar waktu (zaman) Kerajaan Majalengka (Majapahit), pada zaman Prabu Brawijaya yang terakhir.

Pada saat itu, datanglah seorang maulana dari negeri Jeddah. Namanya Seh Walilanang. Ia datang di tanah Jawa, kali pertama, menginjakkan kaki di Ngampeldenta, kemudian meneruskan perjalanan ke arah tenggara dan sampailah di Blambangan, di Dusun Purwasata.

Raja Blambangan ketika itu memiliki seorang putri, cantik sekali. Ibarat kembang, sedang mekar-mekarnya. Sedang menyebarkan harumnya ke mana-mana, mengirimkan wewangian khas yang dapat membuat kumbang-kumbang mabuk kepayang. Sayang, pada saat yang sama, bukan kidung-kidung asmara yang disenandungkan Sang Ayu. Melainkan tembang sedih dari derita, sakit, yang sedang menimpanya.

Sudah tak terbilang orang pintar dipanggil, sekian banyak jenis ramuan dicoba pula. Tetapi belum juga tampak hasilnya. Itu membuat Sang Raja selalu dirundung prihatin. Bahkan aroma kesedihan itu kental sekali di sekitar Keputren, taman, tempat Sang Ayu biasa menghabiskan waktu senggangnya. Bermain-main, sambil menyenandungkan tembang, dengan abdi kesayangannya. Dan seluruh Blambangan pun prihatin.

Entah, ini untuk yang ke berapa kalinya Patih Samboja harus menghadap Sang Raja, untuk urusan mengupayakan kesembuhan Sang Putri. "Duh, Sang Prabu, "kata Patih Samboja setelah berbasa-basi, "hamba dengar ada seorang maulana datang di tanah Jawa. Sekarang sedang berada di Dusun Purwasata. Bila Sang Prabu berkenan, barangkali ulama itu sudi memberikan bantuan demi kesembuhan Sang Putri.

Begitu mendengar ucapan Patih Samboja itu, Raja yang sedang dirundung kesedihan itu segera mengirimkan utusan. Untuk memohon pertolongan kepada Syeh Walilanang dan sekaligus menjemputnya. (bon/jss)