Ruwatan Sudamala (1) : Kerajaan Pandawa Diserang Raksasa

Selasa, 11 September 2018

Raden Sudamala dan Raden Sakula telah melangsungkan perkawinan. Mereka hidup bahagia, selamat dan sentosa di pertapaan Bagawan Tambapetra. Sekarang cerita berganti. Dikisahkan, Sang Kalanjaya dan Kalantaka sedang berada di negeri Hastina diiringi Delem dan Sangut.

Sang Kalanjaya berkata: "Adikku Sang Kalantaka, aku mendengar berita, bahwa Ki Sadewa sekarang sudah mati. Malah Sang Sakula juga ikut mati. Keduanya ini sudah tidak ada lagi. Aku tahu itu sangat membahagiakan. Sebab yang disebut Pandawa itu adalah semuanya.

Kalau ada satu atau dua yang mati, berarti lima orang itu akan mati. Untuk itu, Bima, Dananjaya, dan Darmawangsa itu sekarang kita serang saja. Menurut pikiranku, mereka kita serbu dan mustahil tak dapat dikalahkan."

Jawab Kalantaka, "Seyogyanya kita selidiki dulu, sungguhkah mereka berdua telah mati atau masih hidup. Hendaknya kita menyelidiki keadaan Sadewa dulu".

Kalanjaya berkata: "Bagaimana cara menyelidikinya? Bukankah sudah jelas berita kematian Sadewa dan Nakula itu. Malahan sebaliknya, sekarang ini kita berkemas-kemas menyiapkan senjata. Delem dan Sangut harus secepatnya mengumpulkan segenap tentara." Berkata begitu, Kalanjaya langsung memberi instruksi pada keduanya.

Mendengar perintah itu, Delem dan Sangut ragu. Ia ragu mampu mengalahkan Pandawa. Dan juga takut akan ketangguhan Pandawa. Kata Sangut pada Delem: "Aduh, hatiku cemas dan khawatir, apakah sungguh Pendawa dapat dikalahkan. Terus kalau Raden Sadewa dan Raden Sakula nanti ternyata masih hidup, bagaimana ini. Andaikata berita itu memutar balik kenyataan, nantinya bagaimana."

Tapi itu tak berani diungkapkan pada Kalantaka dan Kalanjaya. Delem justru diam seribu bahasa dan menjawab bertolak belakang dengan perasaan hatinya. "Paduka Tuanku, perintah akan segera kulakukan. Hamba akan lekas-lekas memanggil tentara semua. Ayo Sangut, adikku jangan terlalu lama, mari kita bertindak".

Mereka berdua berjalan cepat-cepat. Delem segera mengumpulkan semua prajurit untuk siap siaga. Ada prajurit yang berkata: "Apakah dosa Pandawa hingga mereka harus diserang? Bukankah Pandawa itu baik budinya, dan mereka tampak hidup tentram dan damai?"

Delem tak menanggapi ucapan prajurit itu. Setelah mengumpulkan prajurit, ia pun kembali menghadap. "Tuanku, angkatan bersenjata kini telah siap siaga. Seluruh prajurit paduka akan pergi mengadakan serangan".

Kalanjaya menyahuti. "Baik. Dan Dinda Kalantaka, aku akan berangkat sekarang juga. Dinda nanti hendaknyalah menyusul segera."

Kalanjaya dan Kalantaka berangkat diiringi segenap tentara. Sorak-sorai terdengar gemuruh. Suara bunyi-bunyian, beri, gong besar, berdengung-dengung mengiringi keberangkatan pasukan raksasa itu. Suaranya riuh memenuhi seluruh negara, seakan-akan gunung akan roboh karenanya. Bagaimana Pandawa?

Para Pendawa telah mendengar, bahwa Kalanjaya dan Kalantaka sudah berangkat untuk menyerang. Sekarang Sang Darmawangsa dihadap oleh menteri hulu balang dan adik-adiknya. Sang Darmawangsa berkata: "Adikku, Dananjaya dan Bima, bagaimana sekarang ini, apa yang harus dilakukan?"

Sang Bima menjawab: "Aku duluan yang akan menyerang musuh."

Sang Darmawangsa menyahuti. "Jangan tergesa-gesa, Bima. Hendaknyalah Arjuna yang maju terlebih dulu bersama tentaranya, kamu belakangan saja."

Mendenggar itu Raden Arjuna langsung bertindak. "Hamba mohon diri, berangkat ke medan perang, melawan musuh Pandawa".

Setelah memohon diri, Raden Arjuna berangkat naik kereta, diiringi oleh tentaranya. Setelah itu Raden Bima berangkat menjadi penutup barisan, berjalan kaki sambil memegang gada. Pasukan Pandawa itu berdiri di tanah lapang. Berhenti sejenak, menunggu reaksi lawan. (jss/bersambung)