Serat Suluk Gatolotjo (6) : Paham Lingga Yoni Diajarkan Secara 'Slengekan'

Jumat, 07 September 2018

Memang, jika paham lingga-yoni itu disusuri melalui berbagai benda dan berbagai produk yang akrab dengan keseharian akan terpampang daftar panjang.

Dan tanpa sadar akan sampai pada konklusi akhir, bahwa penis dan vagina yang ditabukan itu ternyata menjadi bagian dari rutinitas keseharian kita. Tapi bagaimana paham itu bisa menyebar luas dengan pemahaman yang merata?

Paham lingga-yoni ini dalam sosialisasinya tidak diajarkan melalui guru atau ceramah seperti yang dikenal sekarang. Semua itu lewat pengkisahan. Kisah dari hasil gubahan para pujangga itu diceritakan melalui ritus yang dikemas dalam berbagai seni relijius.

Salahsatu peninggalan ritus seni relijius Gatolotjo itu masih tersisa hingga kini. Di Dusun Tarukan, Desa Candisari, Parakan, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, misalnya, kesenian Gatolotjo yang juga disebut Wulang Sunu atau Wulan Sunu itu tetap lestari. Seni ini dianggap sebagai ajaran bernilai tinggi. Dan syairnya dipercaya sebagai mantra berkekuatan magis.

Dalam seni pertunjukan yang menggabungkan dialog dan tari itu berbagai adat Jawa tersaji lengkap. Kelahiran, perkawinan, hingga kematian runtut terucap. Termasuk penyebutan dan sesaji yang harus dipersiapkan dalam menyambutnya.

Petuah yang sangat filosofis itu tidak menjenuhkan karena dikemas dalam gurauan yang memancing tawa. Gurauan itu mengaktualisasi seni ini karena bahan gurauan berasal dari persoalan sehari-hari.

Gabungan pendalaman ajaran serta kemasan ‘slengekan’ itu yang membuat Seni Gatolotjo tidak monoton. Paduan itu menjadikan seni ini survival hingga kini.

Seni Gatolotjo ini hampir pasti diambil dari Serat Gatolotjo, atau setidaknya diilhami serat itu. Indikasinya, tokoh yang diperankan terdiri dari Kiai, Nyai, Bapak, Petani, Bujang Petani, serta Cantrik. Hanya narasinya yang berbeda.

Jika Serat Suluk Gatolotjo menekankan ‘dialog keimanan’ dengan Kiai Hasan Besari serta petualangan di Cemara Jamus, maka seni Gatolotjo lebih fokus pada persoalan keseharian rakyat di pedesaan. Ritus rakyat jika sedang punya hajatan menikahkan anak, kehamilan istri, pindah rumah, atau memulai bercocok tanam.

Simak syair menyambut kehamilan yang biasa didendangkan dalam seni ini.

Wonten toyo mandhek sewulan. Wilujengan jenang baning. Mawi santen kelopo ijo. Medal sepisan kang mulung ngetan. (Artinya: Ada air berhenti sebulan. Selamatan jenang bening. Dengan santan kelapa hijau. Keluar sekali menghadap ke timur).

Wonten toyo mandhek kalih wulan. Wilujengan jenang kang rangan. Mawi juruh gendise Jawi. Limang piring utawa pitu. (Artinya: Ada air berhenti dua bulan. Selamatan jenang kering. Dengan bumbu gula Jawa. Lima piring atau tujuh piring).

Wonten toyo mandhek sangang wulan. Wus wancine jabang bayi lahir. Lahire dino purnomo. Gumebyar kadiyo wulan. (Artinya: Ada air berhenti sembilan bulan. Sudah saatnya bayi lahir. Lahir di bulan purnama. Bersinar bagai embulan).

Samiyo ngudi iki sunu sastra Jawi. Latin mlajar bisa Arab cara Jawi. Pomo-pomo manuta pitutur iki. Langkung utama bisa katam limang perkara. (Artinya: Mari bersama mendidik anak ini. Agar Latin bisa, juga Arab, pun (huruf) Jawa. Syukur dipatuhi nasihat ini. (Kendati) yang lebih utama kalau bisa (sampai) tamat lima perkara).

Ngaweruhono, pasar gede tanpa uni. Ngaweruhono lumbung kebak tanpo isi. Ngaweruhono kali gede ilang kedunge. Ngaweruhono sedulur sudo kangene. (Artinya: Ketahuilah, pasar besar tanpa bunyi, ketahuilah lumbung penuh tanpa isi, ketahuilah sungai besar hilang lubuknya, ketahuilah saudara berkurang rindunya).

Aboge Ahad Pon, Jim Man Pon, Je Soeng, Dal Tugi Bemis Ki, Wawu Nen Won, Jum Man Ge, Rom Siji Par Lu Ji, Nguwal Patmo, Ngukir Nemmo, Diwal Tupat, Dikir Ropat, Jep Lulu Wah Molu, So Nem Ro, Wal Ji Ro, Dah Roji Sar Pat Ji. (Artinya: Kalimat ini sebenarnya tidak ‘berbunyi’. Hanya rangkaian akronim dari tahun, hari, dan hari pasaran Jawa. Namun dalam banyak mantra di Jawa, singkatan-singkatan itu dipercaya mempunyai kekuatan magis kalau dibacakan).

Seni yang penuh dengan ‘aturan’ ritus itu adalah gubahan para pujangga. Pujangga yang menciptakan itu, seperti kata CC Berg sejarawan Belanda, memang bukan untuk menuliskan sejarah. Mereka sedang menggaungkan sastra puja. Sastra pujian yang secara metafisis diyakini mampu membantu raja untuk mendapatkan kekuatan supranatural. (bersambung/Djoko Su'ud Sukahar)