Sawit Itu Penyelamat Deforestasi

Kamis, 04 Mei 2017

Sejumlah pakar kehutanan dan pertanian menegaskan perkebunan kelapa sawit bukan penyebab deforestasi atau berkurangnya hutan di tanah air. Sebaliknya, sawit merupakan penyelamat deforestasi.
Guru Besar Fakultas Pertanian IPB Prof Dr Supiandi Sabiham mengatakan, deforestasi mulai terjadi jauh sebelum tahun 1960-an dan puncaknya terjadi tahun 1980-an hingga 1990-an yaitu saat transmigrasi dan hak pengusahaan hutan (HPH) berkembang pesat.
Sementara itu, sawit muncul jauh sesudah kerusakan hutan terjadi, yakni setelah tahun 2000-an. “Saya melihat fakta yang ada. Sawit bukan penyebab deforestasi, tapi justru sebagai penyelamat deforestasi. Kerusakan hutan sudah terjadi sejak zaman Belanda. Sawit muncul jauh sesudah kerusakan hutan terjadi,” ujarnya pada acara Roundtable Discussion yang digelar KORAN SINDO dan SINDOnews.com bertajuk “Benarkah Sawit Penyebab Deforestasi?” di Jakarta, kemarin.
Supiandi menjelaskan, perkebunan kelapa sawit yang menggunakan hutan primer hanya sekitar 1%, sementara sisanya merupakan hutan sekunder.
Jika hutan sekunder tersebut tidak ditanami kelapa sawit, maka kerusakan hutan akan menjadi lebih besar. “Sawit me-replace hutan primer kurang dari 1%, termasuk semak belukar. Perkebunan sawit menggunakan hutan sekunder saya anggap sebagai penyelamatan,” jelasnya.
Dia juga mempertanyakan sawit yang dinilai sejumlah LSM asing maupun barat sebagai perusak lahan. Menurutnya, lahan terdegradasi adalah yang masih berfungsi untuk digunakan budidaya tanaman. Namun jika rusak, berarti sudah tidak bisa digunakan sama sekali.
“Penelitian dari IPB dan Jerman, sebetulnya yang masuk degradasi lahan di Indonesia dalam tahap menengah. Misalnya gambut masih bisa menyerap air. Kalau sudah tidak bisa, maka baru bisa dikatakan rusak,” tutur pakar ilmu tanah dan sumber daya lahan ini.
Supiandi juga membantah penilaian LSM asing dan barat yang menuding tanaman sawit sangat rakus menggunakan air. Menurut hasil penelitiannya, justru sawit merupakan tanaman yang sangat efisien menggunakan air.
“Kami meneliti berapa jumlah air yang hilang di musim kemarau. Ternyata hanya 4,5 milimeter per hari yang hilang. Itu tidak termasuk rakus air,” katanya.
Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB Prof Dr Yanto Santosa, DEA mengatakan, sawit bukan merupakan penyebab deforestasi di Indonesia. Sebab lahan perkebunan kelapa sawit yang ada di Indonesia tidak berasal dari kawasan hutan.
“HPH itu bukan deforestasi, tapi degradasi. Kalau berubah menjadi non-hutan, maka itu adalah deforestasi. Jika bicara dalam konteks hukum, perubahan hutan ke sawit maka secara konteks hukum itu bukanlah deforestasi,” ungkapnya.
Dia menjelaskan, deforestasi diartikan sebagai perubahan secara permanen dari areal berhutan menjadi tidak berhutan yang diakibatkan oleh kegiatan manusia. “Oleh karena itu, sawit tidak bisa diartikan sebagai penyebab deforestasi karena 96,47% sawit yang ada sudah bukan lagi termasuk kawasan hutan,” tuturnya.
Yanto menambahkan, komoditas kelapa sawit yang menjadi andalan Indonesia belum mendapat dukungan penuh dari pemerintah. Kondisi ini sangat berbeda dengan Malaysia yang pemerintahnya mati-matian membela sawit.
“Pemerintah tidak pernah hadir membela pahlawan devisa negara ini, terutama Kementerian Pertanian. Sesungguhnya sawit penyelamat deforestasi, dalam konteks dari (lahan) tidak produktif menjadi produktif,” ujarnya.
Sedang pakar hidrologi dan konservasi lahan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Prof Chairil Anwar Siregar, PhD mengatakan, tidak benar jika sawit merupakan tanaman yang mengganggu keanekaragaman hayati maupun penyerap air paling tinggi.
Menurut dia, sawit bahkan paling efisien dalam pemakaian air. Sebab tingkat produktivitas dalam menghasilkan minyak 10 kali lebih tinggi dibandingkan kedelai. Begitu juga karbon stok, lebih tinggi daripada kedelai, walaupun sedikit di bawah mangium. Sawit kebanyakan ditanam pada hutan yang terdegradasi.
“Jadi tidak tepat jika dikatakakan sawit penyebab deforestasi. Satu dosa sawit, dia tak bisa tumbuh di Eropa. Kalau tumbuh di Eropa, maka selesai perdebatan soal sawit,” kata peneliti di Badan Litbang KLHK itu.
Dewan Pakar Persatuan Sarjana Kehutanan Indonesia (Persaki) Petrus Gunarso mengatakan, menurut penelitian yang dilakukan asing, 85% sawit Indonesia membongkar hutan, padahal sebenarnya hal itu tidak benar.
Dia mengungkapkan di Sumatera misalnya, pada 2000 antara hutan yang terganggu dan perkebunan kelapa sawit tak bersinggungan. Di mana hutan yang terdegradasi mencapai 6,5 juta ha, sedangkan sawit hanya 2 juta ha.
Menurut Petrus, persoalan industri sawit di Indonesia sebenarnya lebih terkait dengan persaingan dagang, karena secara internasional Indonesia dan Malaysia pemasok 85% minyak sawit dunia.
Di sisi lain, penetrasi minyak sawit di pasar Eropa dan AS mulai menggerus dominasi minyak nabati yang berasal dari kedelai, bunga matahari dan rapeseed.
“Ini terlalu dominan, sehingga Indonesia akan terus ditodong untuk tanggung jawab. Ada perubahan iklim, hak asasi manusia dan lain-lain. Deforestasi dianggap penyebab utama perubahan iklim,” katanya. (*)