Ruwatan Sudamala (5) : Dosa Terbesar Itu Mengguna-gunai Suami

Rabu, 05 September 2018

Para setan semua telah berubah. Mereka terbebas dari kutukan dan kembali pada wujut aslinya. Namun perubahan itu ternyata tak terjadi pada Kalika. Raksasa itu tetap menjadi raksesi. Wajahnya menyeramkan. Tubuhnya penuh kudis. Dan kalau tertawa membuat merinding bulu kuduk. Ia menghiba pada Sadewa. Katanya, "Tuanku, Kalika ini hendaknya juga tuan lepaskan."

Tapi apa jawab Sadewa? "Kalika, aku tidak melepaskan kamu dari dosa nodamu. Dosa-dosamu itu berasal dari kebiasaanmu memberi guna-guna suami-suamimu. Itu termasuk dosa dan noda sangat besar."

Semar menyahuti. "Selain itu, dia juga yang memanggil semua hantu-hantu berkumpul di Setra ini untuk menakut-nakuti hamba."

Mendengar itu Kalika pun menangis meratap-ratap. Ia bergulung-gulung di tanah. Jemu berguling ia duduk berjongkok. Tampak sesuatu yang menyerupai moncong, menonjol di bawah kainnya. Ki Semar pun menunjuk-nunjuk dengan telunjuk.

Kata Ki Semar."Kamu ingin lepas wahai Kalika? Jika demikian sayalah yang akan melepaskan!"

Kalika pun senang hatinya. Ia berharap Semar bisa melakukan yang sama seperti yang dilakukan Sadewa. Ia pun menyahuti. "Semoga selamat bahagia, wahai Ki Semar."

"Wahai kakakku orang yang ganteng, bagus dan muda belia yang menjadi incaran gadis-gadis dan janda-janda muda. Mereka semua berhasrat menjadi istri bergilir bagimu."

Ki Semar tersenyum. Ia mengerti maksud Kalika mengucapkan kata-kata yang menyenangkan itu. "Nah, sekarang aku bersedia melepaskan kamu. Siapkan saja rangkaian upacaranya. Semua sesaji makanan dan lain-lainnya. Semuanya harus lengkap."

"Baik, saya akan memenuhi semua itu. Berapa saja beayanya, selaksa atau dua laksa."

Semar tertawa dalam hati. "Lekas-lakas bawa kemari. Nasi sebakul penuh, beserta ulam panggang di talam, dan tuak satu guci. Cepatlah pergi memasak dan letakkan semua di tengah-tengah halaman."

Selesai sudah semuanya. Kalika telah memasak segalanya dan telah siap tersedia di halaman. Semar pun menyingsingkan kainnya sambil menyuruh Kalika pergi. "Kalika, pergi jauh-jauh dari sini, jangan sampai kau melihat. Ini tak boleh dilihat oleh siapa pun juga."

Setelah itu Semar mulai makan sekenyang-kenyangnya. Habis nasi sebakul. Tuak satu guci penuh. Bahkan kulit dan tulang ikan pun tak ada yang tersisa.

Semar kini melepaskan sabuknya. Habis tuntas tak ketinggalan sedikit pun juga. Sampai sisa ekor panggang saja tidak ada. Namun tatkala belum juga ada perubahan pada phisik Kalika, maka raksasa betina ini pun sekarang tahu, bahwa kata-kata Semar itu hanya berujut kata-kata, bukan mantra. Sesungguhnya Semar menipunya. Kalika pun sesengggukan. Ia merasa ditipu mentah-mentah. Sudah habis biaya banyak, kelelahan, tetapi wujutnya belum berubah. Tetap menjadi raseksi yang jelek rupa.

Sang Hyang Dewi yang telah kembali pada wajahnya yang cantik jelita mulai berkemas kembali ke sorga. Niat itu sudah lama terpendam. Begitu pula dengan para bidadari semuanya. Mereka telah lama merindukan itu. Tak lama kemudian mereka pun terbang ke angkasa bersama Hyang Uma.

Saat semuanya naik ke sorga itu, sayup-sayup sampai terdengar tangis Kalika. Ia menyesali diri sendiri. Bahkan saat Sudamala berkata: "Selamat tinggal Kalika. Pesanku, tunggulah di sini. Tugasmu menjaga taman, kelak aku akan melepaskan kamu. Baik-baiklah kamu di sini! Aku akan berangkat meninggalkan taman."

Kalika tak bisa berbuat apa-apa. Ia hanya terdiam. Perlahan-lahan ia menyahuti pesan Sadewa. "Selamat jalan tuan, semoga bahagia seterusnya."

Hari itu Hyang Ayu beserta pengiringnya beranjak pergi. Perjalanannya bakal mengubah segalanya. Ia berhenti untuk beristirahat sebentar di taman Banjaransari.

Kabar kedatangan Hyang Ayu mengguncang jagat raya. Para bidadari di sorga telah mendengar berita itu. Termasuk saat Hyang Ayu tiba dan beristirahat di taman Banjaran Puspa.

Kini semua dewa bergegas menjemputnya. Berdengung-dengung suara terompet. Riuh suara gamelan dan bunyi-bunyian. Dimana-mana tampak payung kertas tanda kebesaran. Bentuknya sangat indah. Sungguh elok, serasi dengan barisan kehormatan yang menyambut. Termasuk para bidadari yang kini memenuhi istana para dewa ini.

Hyang Ayu duduk. Ia diusung di dalam tandu yang dihias serba emas yang menerawang. Diperindah dengan permata yang berkilauan, hingga nampak menyala-nyala. Mengerdip-ngerdip jika sedang bergerak.

Para pemikul tandu itu terdiri dari para bidadari yang diiring para dewa. Setelah sampai di sorga, rombongan segera masuk ke dalam istana. Telah sempurna segala-galanya. Kini Hyang Ayu tampak muda belia, berjajar dengan Hyang Guru. (jss/bersambung)