Mebu Penghisap Darah (2) : Romantisme, Berkenalan dengan Si Paha Putih

Senin, 27 Agustus 2018

Tiga bulan setelah ‘berkenalan’ dengan Mebu, saya meneruskan perjalanan ke Desa Kewar yang masuk Kabupaten Belu. Saya sudah lupa dengan kenangan di Dirun. Termasuk kisah kegarangan Mebu dan romantismenya.

Kabupaten ini sekarang sibuk. Sebagai daerah tapal batas wilayah Indonesia dan Timor Leste, arus keluar masuk orang sangatlah tinggi. Itu karena warga kedua negara itu masih sesaudara. Mereka masih merasa tidak dipisahkan oleh negara.

Itu sangat beda dengan puluhan tahun lalu, saat saya tinggal di wilayah ini. Dulu di pusat Kota Atambua sangat lengang. Hanya ada losmen kecil bernama Likurai, dengan seorang penjaganya, bencong, genit, dan menggemaskan.

Mobil angkutan lintas kabupaten nyaris hanya dikuasai empat kendaraan. Dari dan menuju Dili sehari dua kali. Dan dari Atambua, menuju Kupang dua kali sehari. Yang agak meramaikan daerah ini, kala itu, adalah lokalisasi pelacuran. Ceweknya jelek-jelek tetapi mendapat sebutan ‘paha putih’. Pun begitu, laki-laki yang melacur antri berbaris di depan pintu. Hiii!

Tapi itu bisa dimaklumi. Atambua punya pelabuhan yang bernama Atapupu. Pelabuhan ini terbanyak mengangkut sapi ternak. Sapi milik penduduk yang digembalakan secara liar, juga peternakan besar di Pulau Alor.

Maka bak pepatah, ada pasar, pelacur pun berjualan. Apalagi di sepanjang Pulau Timor, bisnis esek-esek itu hanya ada di Kota Kupang, Kota Atambua, serta di Comoro, dekat bandara, di Kota Dili.

Dari Atambua menuju Kewar sebenarnya tidak jauh. Entah berapa puluh kilometer. Hanya karena jalannya menanjak, dengan batu-batu besar tidak beraturan, maka dibutuhkan waktu setidaknya tiga jam untuk sampai desa itu.

Itu pun dengan perut seperti dikocok. Bolak-balik kita harus menyuruh sopir mobil sumbangan Australia yang bisa masuk sungai itu berhenti. Itu hanya untuk sekadar buang air kecil, juga untuk menenteramkan perut yang isinya teraduk tak menentu akibat guncangan.

Kewar merupakan desa yang mempunyai kekayaan budaya. Situs megalitik ada di desa ini. Tradisi likurai yang menyerupai ‘pengayauan’ jejak-jejaknya bisa dirunut dari desa ini. Juga punden berundak serta ritus ‘persembahan’ darah perawan yang mirip tradisi temple maiden di Candi Sukuh, Jawa Tengah.

Punden berundak itu kini tetap berfungsi sebagai sarana persembahan. Namun bukan lagi darah manusia yang dipenggal atau darah perawan, tapi darah babi. Babi itu untuk mengesahkan perkawinan. Sebagai belis (mahar) dari lelaki yang mengawini seorang perempuan.

Di desa di atas bukit itu saya ditemani dua pemandu. Yang satu dari Suku Tetun (Tetum), satunya lagi dari Suku Kemak. Itu untuk memudahkan saya berkomunikasi dengan penduduk setempat, yang terdiri dari suku-suku itu.

Ketika gelap merayap, lampu-lampu petromax dinyalakan. Altar luas terang benderang. Rumah kuno yang tidak berbentuk lopo (rumah tradisional Timor) itu dipenuhi penduduk. Laki dan perempuan.

Waktunya santap malam. Jagung tua yang direbus sebagai menu utama. Lauknya daging babi, yang harus saya singkirkan. (Djoko Su’ud Sukahar/bersambung)