Kerajaan Banten Runtuh Akibat Narkoba dan Anak Khianat

Senin, 20 Agustus 2018

Narkoba tidak hanya sekarang menghancurkan sebuah negara. Dalam sejarah negeri ini, itu sudah pernah terjadi. Kerajaan Banten yang gilang gemilang, akhirnya runtuh dikuasai asing. Itu akibat anak khianat dan narkotika.

Banten merupakan perluasan wilayah Kerajaan Demak dari Kerajaan Sunda Pajajaran. Tahun 1526 itu terjadi. Maulana Hasanuddin, putra Sunan Gunung Jati memimpin perebutan itu. Mengakuisisi Kota Dagang yang ramai dengan lalulintas kapal-kapal asing dari berbagai negara untuk berniaga itu.

Kota Dagang ini dibenahi. Pertama yang dilakukan Maulana Hasanuddin adalah membangun benteng pertahanan yang disebut Surosowan. Ketika Banten kian berkembang dan menjadi kesultanan sejalan meredupnya Kerajaan Demak, Surosowan beralih sebagai pusat pemerintahan. (Hoesein Djajadiningrat)

Tahun 1552 Kerajaan Islam Banten berdiri. Maulana Hasanuddin menjadi raja pertama. Saat itulah Banten muncul sebagai kerajaan besar dan maju. Kerajaan ini tidak pernah dijajah sebelum terjadinya penghianatan antar-keluarga.

Sebagai kerajaan maritim, Banten berkembang sebagai bandar dunia. Kapal dari berbagai negara datang ke Banten sebagai mitra dagang. Pedagang Persia, India, Siam, Vietnam, Philipina, Denmark, China dan Jepang, meramaikan bandar ini. Malah Inggris sudah jauh-jauh hari mengikat MoU dengan Banten untuk saling membantu jika dibutuhkan. (Sejarah & Peradaban Abad X-XVII, Claude Guillot).

Untuk memperluas wilayah, Banten menginvasi Lampung dan Palembang. Daerah penghasil lada itu dikuasai untuk memonopoli mata dagangan yang banyak dibutuhkan dunia kala itu. Daerah ini dikenal sebagai Banten Kuning.

Banten juga menjalin hubungan dengan Minangkabu (Kerajaan Inderapura, Minangkabau), demi perniagaan dan syiar agama. Banten juga menaklukkan Kerajaan Pajajaran menyeluruh tatkala kerajaan itu menjalin kerjasama dengan Portugal.

Sebagai penguasa laut, Banten meluaskan jajahannya hingga ke Pontianak. Ini untuk menjaga kedaulatan negara, ketika keamanan di laut semakin memanas dengan kehadiran Portugis dan Belanda yang makin intens.

Tahun 1651 menjadi tonggak kecemerlangan Kesultanan Banten. Abu al-Mafakhir Mahmud Abdulkadir naik tahta. Sultan yang kelak dikenal sebagai Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1682) itu memerintah.

Sultan ini sadar, bahwa kebesaran Banten masih menyisakan masalah. Rakyat miskin terdapat dimana-mana. Kelaparan acap melanda Banten, selain wabah penyakit yang ditimbulkan akibat kekurangan pasokan gizi itu. (Jean-Baptiste de Guilhen, 1682)

Sungai-sungai yang ada mulai dibuatkan bendungan. Airnya dialirkan untuk pertanian, dan bendungan itu difungsikan sebagai benteng pertahanan. Ini merombak pola hidup rakyat Banten, yang semula hanya hidup dari laut.

Tata kota dibenahi. Di sepanjang Sungai Karangantu berderet pemukiman asing. Perdagangan tumbuh pesat di kawasan ini. Malah Banten disebut sebagai Kota Dagang terbesar di dunia. (John Saris,Hit Pilgrimes)

Banten mencapai puncak kejayaan. Ketika kebesaran itu diraih, Bangsa Eropa mulai banyak mengganggu. Armada Portugis memaksakan kehendak minta jatah monopoli. Banten menolak. Pertempuran di laut berhasil mengusir kapal-kapal Portugis itu.

VOC yang telah menguasai sebagian Jawa meminta jatah yang sama. Memaksa kapalnya masuk ke jantung kota, bongkar-muat dagangan candu yang dibawa. Ini ditolak keras yang menimbulkan ketegangan.

Saat ‘tabungan’ masalah luar negeri itu menumpuk, keluarga Sultan Ageng Tirtayasa kisruh. Sultan Haji atau Sultan Abu Nashar Abdul Qahar, anaknya, tidak sepakat dengan keputusan ayahnya, yang membagi kekuasaan dengan Pangeran Purbaya, sang adik.

Sultan Haji meminta bantuan Belanda untuk berperang melawan bapaknya. Perang bapak-anak yang dibantu Belanda itu berjalan sengit. Tirtayasa akhirnya tertangkap dan dibawa ke Batavia. Tanggal 17 April 1684, atas persetujuan Gubernur Jenderal Belanda, Sultan Haji naik tahta.

Ini awal Banten terjajah. Kemenangan Sultan Haji harus dibayar mahal. Batas wilayah dibuat di sekitar Sungai Untung Jawa (Cisadane). Membagi kekuasaan Banten dan kekuasaan Belanda. Sultan Haji juga harus membayar biaya perang yang merongrong kekayaan kerajaan.

Sejak itu Kerajaan Banten hanya sebagai daerah jajahan. Kondisi Banten tidak pernah aman. Pemberontakan rakyat saban hari terjadi. Candu dulu dilarang masuk kini dikonsumsi hingga pangeran. Istana Surosowan sebagai ikon megah dan kejayaan Banten dihancurkan. Tahun 1813, kerajaan yang sudah bertahan selama tiga abad itu pun akhirnya hilang. Runtuh, menjadi milik asing. Djoko Su’ud Sukahar